Jika Tuhan memberiku kesempatan,
Ingin rasanya bercengkrama dengan waktu
Sekedar bertanya, ingatkah ia dengan kisahku
Dasawarsa silam yang penuh roman
Mengais aroma cinta yang tak jua padam
Harap dalam gelap
Rindu dalam senyap
Antara ada dan tiada
Kisah dua rana bermula
Jika sang waktu ku tanya,
ia pasti tak berubah
Detik, menit, dan jamnya tetap sama
Aku mencoba mengangguk, meski batinku berteriak ‘Berhentilah berputar’ aku masih ingin di sini
Aku terus saja meneriakkan kalimat batinku, hingga tanpa kusadari waktuku benar-benar pergi
Aku belajar bercengkrama dengan waktu yang lain
Ingin kucatat hariku dengan tinta yang sama,
Tapi sayang…
Penaku patah, lalu hilang entah kemana
Aku hanya sanggup melukis kisah itu dalam benakku,
Hingga kelak akan kuukir dalam kertas tulisku saat aku punya pena baru
Sang waktu terus saja mengantarku
Membisikkan kisah-kisah itu agar kuingat
Untuk dikenang
Jadi peringatan
Jadi bentuk syukur
Jadi penanda kebeningan sukma yang kuabaikan…
Dasawarsaku mencatat…
Adamu akan abadi sebagai kekasih, namun jalannya aku tak mengerti
Adamu menyanjung hati, menyejuk hari, membias kasih, namun ku tak bisa melepas yang abadi
Adamu mengajariku mengerti pilihan, pengorbanan, penantian, berbesar hati, tapi lagi-lagi aku tak bisa mengiring langkahmu lebih jauh lagi
Adamu membuatku makin kuat memapah ego-ku, menatap mata elangmu dan mengajakmu pada debat yang akhirnya sependapat. ‘Aku tak ingin bertengkar denganmu’ begitu kalimat peluruh, yang sama sekali tak bisa meluruhkanku.
Entah ada berapa kamu-kamu lagi yang tercatat dalam dasawarsaku, tapi semuanya tetap sama tak ada yang bisa membuatku bergeming. Bahkan untuk sekedar mencoba berbagi senyum, yah…kecuali sedikit
Sampai suatu ketika, dasawarsaku berhenti mencatat!
Mungkin saat itu aku terdampar,
Atau sekedar ingin jalan-jalan
Menikmati hembusan angin lain yang ternyata ‘SAMA’
Pada bilangan itu aku belajar tersenyum,
benakku berujar ‘Horeee…aku punya pena lagi, aku bisa menulis lagi’
Girang seluruh hari kulewati
Berharap akan kucatat dasawarsaku dengan tinta yang baru
Tapi…Sorakanku tiba-tiba terhenti
Aku terdiam mematung saat kudapati pena patahku tergeletak lesu di meja kerjaku, hampa…
Kupandangi lekat pena itu, kuperiksa setiap sisinya,
Tanpa berani menyentuhnya
Karena digenggamanku ada pena baru yang kudapat dari dasawarsaku
Ingin rasanya marah pada pena tuaku
Siapa yang telah membawamu pergi?
Hingga aku tak bisa menulis lagi
Hingga catatan dasawarsaku tak bisa kusambung lagi
Dan hari ini, saat aku ingin menulis dengan pena baruku,
Wujudmu hadir tanpa pernah permisi
Yah…memang hanya sebatang pena
Tapi andai ia punya rasa
Ia pun ingin merasakan waktu
Kupandangi sekali lagi pena tuaku
Kali ini kusandingkan ia dengan penaku yang baru
Tentu yang tua sudah lusuh
Aku hapal benar warna tajam tintanya saat digoreskan
Aku paham betul saat lelahnya dan saat indahnya tatkala ia mencatat dasawarsaku
Kualihkan pandangan ke pena baruku, cantik, aku tersenyum memandanginya
Ada rasa puas saat aku bisa memilikinya
Pena pemberian, entah dari dasawarsa yang mana
Sang waktu tak pernah membiarkanku jadi manusia rakus
Dasawarsaku hanya butuh satu pena
Aku mulai bingung tak tau harus mengambil yang mana
Nafsuku meminta yang baru
Karena pena tuaku telah patah
Layak diganti dengan yang baru
Tapi hatiku tak bisa dusta
Betapa dasawarsaku hanya diisi oleh catatan dari tinta tajam pena tuaku, tak ada yang lain
Ku biarkan sang waktu berlalu
Ia yang kuberi kehormatan untuk memilihkanku
Sementara waktu, kubiarkan kedua pena itu menghuni meja kerjaku,
Tanpa ada yang kusentuh
Hingga suatu hari…
Sang waktu membawakanku secarik kertas putih…
Aku tergerak untuk mengisi kertas itu dengan tulisan dari pena-penaku
Toh hanya pena,
Aku bisa memakainya bergantian
Dan…aku hanya mencoba
Sampai salah satu dari penaku digilas oleh waktu
Pertama, kucoba dulu pena tua-ku
Yaaah seperti biasa,,,
Ia bisa menulis sesuai instruksi jari-jariku
Tintanya tajam, hurufnya jelas, pesannya tegas
Aku senang melihatnya
Kedua, kucoba memakai pena baruku
Satu dua huruf kutulis
Dua tiga kali kuulangi
Namun tak ada tinta yang bisa kulihat
Tak ada tulisan di atas kertas putihku
Sedih rasanya jiwa ini
Menatap rupa tak dapat pengerti
Dalam lesu-ku, sesosok tubuh datang menghampiri
Membawa kertas legam tak berisi
Tanpa berucap kata, diambilnya pena itu dari tanganku
Lalu…ditulisnya beberapa patah kata pada kertas hitam itu
Ternyata…jelas! Bisa terbaca dan aku mengerti
Orang itu memandangiku dengan tetap menggenggam pena baruku
Seolah berharap aku berkenan memberikan untuknya
Aku hanya tersenyum, tak ada yang kuucapkan
Aku kemudian berlalu dari hadapannya sambil membawa kertas putih dan pena tuaku
Kini di meja kerjaku hanya ada tumpukan kertas putih bersama sebatang pena tua yang telah kusambung patahannya
Hanya fisiknya yang cacat, tintanya masih sama seperti yang dulu
Sama dengan catatan dasawarsaku
Aku berterima kasih pada Sang Pemilik kehidupan
Yang telah membuat sang waktu memilihkanku
Sesuatu yang kubutuhkan,
Mengisi catatan dasawarsaku
Tak pernah usai
Menanti dan menemani semerbak keabadian kasih…
Mojopuro Wetan, 5 Februari 2009, 18.02 WIB
Untuk setiap Februari yang kulewati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar