Minggu, 15 Februari 2009

Catatan Dasawarsa-ku

Jika Tuhan memberiku kesempatan,

Ingin rasanya bercengkrama dengan waktu

Sekedar bertanya, ingatkah ia dengan kisahku

Dasawarsa silam yang penuh roman

Mengais aroma cinta yang tak jua padam

Harap dalam gelap

Rindu dalam senyap

Antara ada dan tiada

Kisah dua rana bermula


Jika sang waktu ku tanya,

ia pasti tak berubah

Detik, menit, dan jamnya tetap sama

Aku mencoba mengangguk, meski batinku berteriak ‘Berhentilah berputar’ aku masih ingin di sini

Aku terus saja meneriakkan kalimat batinku, hingga tanpa kusadari waktuku benar-benar pergi


Aku belajar bercengkrama dengan waktu yang lain

Ingin kucatat hariku dengan tinta yang sama,

Tapi sayang…

Penaku patah, lalu hilang entah kemana

Aku hanya sanggup melukis kisah itu dalam benakku,

Hingga kelak akan kuukir dalam kertas tulisku saat aku punya pena baru


Sang waktu terus saja mengantarku

Membisikkan kisah-kisah itu agar kuingat

Untuk dikenang

Jadi peringatan

Jadi bentuk syukur

Jadi penanda kebeningan sukma yang kuabaikan…


Dasawarsaku mencatat…

Adamu akan abadi sebagai kekasih, namun jalannya aku tak mengerti

Adamu menyanjung hati, menyejuk hari, membias kasih, namun ku tak bisa melepas yang abadi

Adamu mengajariku mengerti pilihan, pengorbanan, penantian, berbesar hati, tapi lagi-lagi aku tak bisa mengiring langkahmu lebih jauh lagi

Adamu membuatku makin kuat memapah ego-ku, menatap mata elangmu dan mengajakmu pada debat yang akhirnya sependapat. ‘Aku tak ingin bertengkar denganmu’ begitu kalimat peluruh, yang sama sekali tak bisa meluruhkanku.

Entah ada berapa kamu-kamu lagi yang tercatat dalam dasawarsaku, tapi semuanya tetap sama tak ada yang bisa membuatku bergeming. Bahkan untuk sekedar mencoba berbagi senyum, yah…kecuali sedikit

Sampai suatu ketika, dasawarsaku berhenti mencatat!


Mungkin saat itu aku terdampar,

Atau sekedar ingin jalan-jalan

Menikmati hembusan angin lain yang ternyata ‘SAMA’

Pada bilangan itu aku belajar tersenyum,

benakku berujar ‘Horeee…aku punya pena lagi, aku bisa menulis lagi’

Girang seluruh hari kulewati

Berharap akan kucatat dasawarsaku dengan tinta yang baru

Tapi…Sorakanku tiba-tiba terhenti

Aku terdiam mematung saat kudapati pena patahku tergeletak lesu di meja kerjaku, hampa…

Kupandangi lekat pena itu, kuperiksa setiap sisinya,

Tanpa berani menyentuhnya

Karena digenggamanku ada pena baru yang kudapat dari dasawarsaku


Ingin rasanya marah pada pena tuaku

Siapa yang telah membawamu pergi?

Hingga aku tak bisa menulis lagi

Hingga catatan dasawarsaku tak bisa kusambung lagi

Dan hari ini, saat aku ingin menulis dengan pena baruku,

Wujudmu hadir tanpa pernah permisi


Yah…memang hanya sebatang pena

Tapi andai ia punya rasa

Ia pun ingin merasakan waktu

Kupandangi sekali lagi pena tuaku

Kali ini kusandingkan ia dengan penaku yang baru


Tentu yang tua sudah lusuh

Aku hapal benar warna tajam tintanya saat digoreskan

Aku paham betul saat lelahnya dan saat indahnya tatkala ia mencatat dasawarsaku

Kualihkan pandangan ke pena baruku, cantik, aku tersenyum memandanginya

Ada rasa puas saat aku bisa memilikinya

Pena pemberian, entah dari dasawarsa yang mana


Sang waktu tak pernah membiarkanku jadi manusia rakus

Dasawarsaku hanya butuh satu pena

Aku mulai bingung tak tau harus mengambil yang mana

Nafsuku meminta yang baru

Karena pena tuaku telah patah

Layak diganti dengan yang baru


Tapi hatiku tak bisa dusta

Betapa dasawarsaku hanya diisi oleh catatan dari tinta tajam pena tuaku, tak ada yang lain


Ku biarkan sang waktu berlalu

Ia yang kuberi kehormatan untuk memilihkanku

Sementara waktu, kubiarkan kedua pena itu menghuni meja kerjaku,

Tanpa ada yang kusentuh


Hingga suatu hari…

Sang waktu membawakanku secarik kertas putih…

Aku tergerak untuk mengisi kertas itu dengan tulisan dari pena-penaku

Toh hanya pena,

Aku bisa memakainya bergantian

Dan…aku hanya mencoba

Sampai salah satu dari penaku digilas oleh waktu


Pertama, kucoba dulu pena tua-ku

Yaaah seperti biasa,,,

Ia bisa menulis sesuai instruksi jari-jariku

Tintanya tajam, hurufnya jelas, pesannya tegas

Aku senang melihatnya


Kedua, kucoba memakai pena baruku

Satu dua huruf kutulis

Dua tiga kali kuulangi

Namun tak ada tinta yang bisa kulihat

Tak ada tulisan di atas kertas putihku

Sedih rasanya jiwa ini

Menatap rupa tak dapat pengerti


Dalam lesu-ku, sesosok tubuh datang menghampiri

Membawa kertas legam tak berisi

Tanpa berucap kata, diambilnya pena itu dari tanganku

Lalu…ditulisnya beberapa patah kata pada kertas hitam itu

Ternyata…jelas! Bisa terbaca dan aku mengerti

Orang itu memandangiku dengan tetap menggenggam pena baruku

Seolah berharap aku berkenan memberikan untuknya


Aku hanya tersenyum, tak ada yang kuucapkan

Aku kemudian berlalu dari hadapannya sambil membawa kertas putih dan pena tuaku

Kini di meja kerjaku hanya ada tumpukan kertas putih bersama sebatang pena tua yang telah kusambung patahannya

Hanya fisiknya yang cacat, tintanya masih sama seperti yang dulu

Sama dengan catatan dasawarsaku


Aku berterima kasih pada Sang Pemilik kehidupan

Yang telah membuat sang waktu memilihkanku

Sesuatu yang kubutuhkan,

Mengisi catatan dasawarsaku

Tak pernah usai

Menanti dan menemani semerbak keabadian kasih…


Mojopuro Wetan, 5 Februari 2009, 18.02 WIB

Untuk setiap Februari yang kulewati…

Tidak ada komentar: