Jumat, 27 Maret 2009

Anekdot Tentang Riset


Seorang peneliti bidang entomologi, ingin mengetahui di mana letak saraf pendengar pada belalang. Lalu ia mengadakan penelitian dengan melakukan beberapa perlakuan sebagai berikut.
Pertama, dilakukan amputasi terhadap kaki depan sebelah kanan belalang. Kemudian belalang itu diberi kejutan dengan suara ketukan meja, hingga terkejut, dan terbang.
Kedua, dilanjutkan dengan amputasi kaki depan sebelah kiri. Dengan kejutan yang sama, belalang itu terkejut lalu terbang.
Ketiga, peneliti melakukan amputasi terhadap kaki belakang sebelah kanan, dari belalang yang sama. Perlakuan diberikan dengan memberi kejutan, hingga belalang itu kembali terbang meskipun awalnya mengalami kesulitan.
Keempat, peneliti akhirnya melakukan amputasi terhadap kaki belakang sebelah kiri belalang (yang merupakan kakinya yang terakhir) hingga belalang itu sama sekali tak berkaki. Ketika diberi kejutan dengan suara ketukan meja, belalang itu tidak dapat terbang lagi.
Peneliti kemudian mengambil kesimpulan: saraf pendengar belalang ada di kaki.
Apakah anda juga menyimpulkan demikian??? Silahkan dipikirkan!

Di tempat yang lain, seorang guru ingin memberitahukan kepada siswanya tentang bahaya minuman keras. Lalu sang guru membuatkan ilustrasi dengan melakukan percobaan sebagai berikut.
Sang guru menyiapkan 2 buah gelas. Gelas I diisi dengan air mineral dan gelas II diisi dengan alkohol. Pada masing-masing gelas dimasukkan seekor cacing perut (Anchilostoma duodenale). Cacing yang dimasukkan pada gelas I, tetap hidup. Sedangkan cacing di gelas II, menjadi kaku dan mati.
Sang guru puas dengan hasil percobaan itu, dia yakin para siswa akan mudah memahaminya. Ia pun kemudian bertanya kepada siswanya: “Siapakah yang bisa menyimpulkan hasil percobaan tadi?”
Seorang siswa dengan sangat yakin mengangkat tangannya: “Saya Pak!”
Guru: “Silahkan!”
Siswa: “Kalau tidak mau cacingan, minum alkohol yang banyak!!!”
Guru: Heeh …….???/// 

Kedua contoh di atas adalah kesalahan dalam interpretasi sebuah hasil percobaan. Inilah pentingnya membaca, mengetahui secara runut, apa yang menjadi tujuan dalam percobaan. Menggunakan metode yang benar, dengan meminimalkan kesalahan persepsi pada orang lain yang menjadi pemakai hasil percobaan kita.

Jogjakarta, 23 Februari 2009 – Selepas kuliah Metodologi Penelitian Biologi

Surat Perdamaian


Istirahat pertama, 3 IPA I hening. Hanya beberapa orang saja yang masih bertahan di kelas, yang lain pada ngacir. Masih jelas dalam ingatanku, saat teman-teman dari geng cewek merumuskan ‘surat perdamaian’ itu. Santai aku menghampiri, lalu menawarkan bantuan untuk menyusun kalimat dalam surat itu. Dalam balutan seragam putih abu-abu, kita selesaikan surat itu hanya di istirahat pertama, lalu dikirim ke geng cowok di 3 IPA III waktu itu.

Istiratah kedua, perasaan suntuk menyerangku, lelah tinggal di kelas seharian. Iseng, aku maen ke 3 IPA III. Seorang anggota geng cowok mendekat. “Aku ingin bicara denganmu” lirihnya. Lalu kami berjalan ke taman sebelah kelas, dan dia berkenan menyodorkan selembar kertas. Ku baca tulisan di kertas itu, yang ternyata sebuah surat perdamaian yang kami rumuskan di istirahat pertama tadi.

Selesai aku membaca, dia bertanya “Bagaimana menurutmu?, apakah kami harus memaafkan mereka (geng cewek)?”

“Iya…terima saja maafnya, perempuan memang begitu, sangat emosional, tapi gampang luluh, lagian mereka kan sudah minta maaf, maaf dari kalian akan menunjukkan kebaikan kalian, bukan menjatuhkan harga diri kalian” jelasku yang tidak bisa menyembunyikan rasa geli. Bagaimana tidak, kan aku juga ikut mbantuin geng cewek buat nulis surat itu.

“Yup…baiklah” kulihat dia lega menarik kesimpulan sambil memasukkan kembali surat itu ke saku celananya.

“makasih ya nyonya…”

“sama-sama”

Aku kembali ke kelas, masih geli rasanya aku mengingat kejadian tadi.

Jam pulang sekolah, seperti biasa, anggota geng cewek ngumpul dulu di kelasku (karena dua dari lima anggotanya sekelas denganku).

“Makasih ya…suratnya jitu, kami semua udah baikan” begitu kata salah seorang anggota geng cewek.

“Yup, sama-sama, laen waktu jangan berantem lagi ya…”

“Ok,…”

Akupun berlalu dari hadapan mereka dengan segenap perasaan lega. Entah kenapa aku begitu senang bisa mendamaikan mereka. Apa mungkin karena perdamaian itu memang indah???

Jelasnya aku mengingat kisah itu, hingga saat ini, saat aku menuliskannya kembali dalam salah satu episode di catatan dasawarsa-ku…

Dan hingga hari ini, tak satupun dari mereka saling tahu, kalau aku terlibat secara silang dalam perdamaian itu. Semoga saja mereka tidak tahu dan tidak akan pernah tahu…

Jogjakarta, 23 Februari 2009

Semoga persahabatan kita abadi…Amiin…