Senin, 07 Desember 2009

Desemberku...

Coretan di 30 Desember 2007
Saya tidak pernah menyebut, lebih tepatnya tidak sepakat menyebut suatu periode angka tahun adalah kegelapan. Bagiku setiap manusia, bahagia dan sengsara tergantung pada sikapnya. Memandang setiap takdir sebagai rahmat, ujian, atau mungkin bencana.
Tahun ini, jika dibentang lembaran takdir yang telah kulewati, mungkin yang terlihat hanya gelap. Tapi nuraniku mengelak, betapa pun sakitnya pasti pernah bahagia, meski hanya beberapa saat saja. Neraca takdir bagiku memang selalu adil.
Jika dalam tulisan ini hanya ada mendung, maka sepertinya aku menulisnya dalam badai. Hati yang sedikit terluka dan jasad yang sedikit lelah.
Tahun ini adalah cadas. Berkali-kali aku diamuk badai, sekali-kali aku diantar ke tepian, warna duniaku begitu gelap. Sedikit saja yang aku inginkan, tenang… tapi rasa tenang itu tak jua bisa ku reguk… kendati telah kuretas gelombang asaku menjadi serpihan riak riak kecil… namun tetap saja ricuh…hati serasa penuh gelombang, alam boleh sunyi, tapi mengapa hatiku tak kunjung sunyi…sunyi dari perdebatan manakah yang benar? Mengapa harus begini?
Terkadang aku harus sadar, ini adalah takdirku…aku tidak hendak menuntut kepada Allah, karena rasaku tak pernah mengelak, rasa sakit ini hanya di beberapa sisi kehidupanku, bukan seluruhnya…

Gresik, 30 Desember 2007
Dunia ini adalah penjara bagi orang-orang mu’min… Bersabarlah…




Desember…
Palu sidang sudah diketuk
Takdir telah terbentang
Yang tersisa hanya senyum kepedihan
Layu membaca pesan penghabisan
Memilih untuk tidak memilih, harus jadi pilihan

Desember kedua menjelang…
Tanpa pernah memilih
Takdir melesat pasti
Mengantar pada kisi doa yang sempat tersisih

Jogjakarta, 5 Desember 2008, 16:54

Rabu, 15 Juli 2009

Bioinformatika

Bioinformatika adalah suatu cabang ilmu pengetahuan baru yang lahir seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bioinformatika merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu, meliputi biologi, biokimia, matematika dan ilmu komputer. Ilmu ini memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan metode statistik untuk mengolah dan menganalisis sejumlah besar data biologi seperti sequence DNA, RNA dan protein, struktur protein, profil ekspresi gen dan interaksi protein.
Peranan bioinformatika dalam dunia ilmu pengetahuan masih perlu disosialisasikan kepada masyarakat, baik dalam hal pengoperasian maupun fungsinya. Dengan semakin meluasnya pemakaian jaringan internet, maka bioinformatika mulai banyak diseminarkan dan dimanfaatkan. Bahkan kini sudah mulai banyak situs-situs bioinformatika yang kapan saja bisa dikunjungi. Perkembangan bioinformatika ini diperkuat dengan hadirnya tiga organisasi besar dunia, yaitu National Center for Biotechnology Information (NCBI), DNA Data Bank of Japan (DDBJ) dan European Molecular Biology Laboratory Nucleotide Sequence Database (EMBL) dari European Bioinformatics Institute (EBI).
Elemen bioinformatika mencakup database, analisis, dan prediksi. Database yang tersedia meliputi database sequence DNA, protein, dan hasil transkripsi RNA. Analisis yang bisa dikerjakan dengan bioinformatik meliputi analisis homologi sequence dan pencarian pola (pattern). Sementara prediksi yang mungkin adalah mengenai fungsi suatu gen atau protein, juga prediksi struktur 3-D protein.
Peluang bioinformatika untuk berkembang ditunjang oleh banyaknya cabang ilmu yang terkait di dalamnya. Di bidang biologi molekuler misalnya, bioinformatika penting untuk mengolah data-data biologi, khususnya sequence DNA maupun informasi genetik lainnya. Kemajuan bioinformatika juga telah berperan dalam mempercepat perkembangan cabang ilmu lain, salah satunya adalah virologi. Virologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang virus dan partikel lain menyerupai virus (viroid dan prion) meliputi struktur, klasifikasi, evolusi dan reproduksi virus, penyakit yang disebabkannya, teknik isolasi dan kultur virus, serta peranannya dalam penelitian dan terapi.
Salah satu hasil kemajuan bioinformatika dalam bidang ini adalah semakin mudahnya mengidentifikasi dan mengklasifikasikan virus hanya dengan melakukan sequencing terhadap gen-nya. Saat ini, kemajuan teknologi biologi molekuler dan bioinformatika semakin mempermudah identifikasi genom virus, sehingga klasifikasi virus berdasarkan genom inilah yang banyak digunakan. Bahkan salah satu sumber menyebutkan bahwa kemajuan ilmu virologi sangat bergantung pada kemajuan bioinformatik.

Sumber:
Daryono, B.S. and Arisuryanti, T. 2009. Introduction of Bioinformatics. Bahan ajar MK. Genetika Populasi.

Mathura, V. S. and P. Kangueane. 2009. Bioinformatics–A Concept-Based Introduction: Biological Sequence Databases. Springer Science & Business Media. Verlag-Berlin-Heidelberg, pp: 39-43.

Utama, A. 2003. Aplikasi Bioinformatika dalam Virologi. Artikel Populer IlmuKomputer.Com. http://ilmukomputer.org/2006/08/24/bioinformatika-dalam-virologi/. Akses terakhir tanggal 5 Mei 2009.

Analisa Konyol

Seorang mahasiswa fakultas kedokteran sedang termangu di hadapan mobilnya. Bagian depan Honda Jazz merah itu dipenuhi coretan spidol. Ia tak tau harus berbuat apa. Mau marah, pada siapa ia akan marah? Tentu tak seorangpun akan mengakui telah mencoreti mobil itu. Mau nangis, malu dong?! Laki-laki… Kebingungannya menjadi bertambah ketika ia mengetahui bahwa ayahnya akan datang ke kota tempat ia belajar.
Ia pun berpikir keras. Mencoba menemukan solusi yang cepat dan tepat untuk mengembalikan kondisi mobilnya seperti semula. Nalar kedokterannya bekerja. Menurut yang is ketahui, alkohol sering digunakan sebagai bahan pensterilat alat-alat kedokteran. Ia juga pernah melihat seseorang membersihkan whiteboard di papan tulis dengan alkohol.
Tanpa berpikir panjang, ia pun membeli alkohol. Menurutnya membawa mobil ke bengkel bukan solusi yang tepat, paling tidak untuk saat ini. Ayahnya sudah menunggu di kost. Ia takut, kalau ayahnya marah karena mobilnya belepotan tinta. Begitu ia berlogika.
Mulailah ia membersihkan coretan-coretan di mobil itu. Bingung dan was-was kini berganti menjadi suka cita, coretan-coretan itu sedikit demi sedikit hilang dari mobilnya. Ia senang, mungkin juga bangga karena bisa mengatasi kesulitannya sendiri, tanpa ke bengkel, mudah, dan murah.
Namun, sepertinya ia harus kembali menelan rasa senang itu, karena ternyata bukan cuma warna tinta yang hilang, tetapi cat mobilnya juga ikut terkelupas. Habis sudah… begitu ia mengakhiri petualangannya…

Jogjakarta, 15 Juli 2009
Sebuah kisah nyata, oleh-oleh seorang teman dari Semarang…

Minggu, 21 Juni 2009

Budaya Menggenggam...


Suatu ketika saya membaca sebuah pesan singkat, isinya kurang lebih seperti ini: “Tahu tidak kenapa Tuhan menciptakan ruang antara jari-jarimu? Karena suatu saat seseorang yang dikirim oleh-Nya untukmu, akan memenuhi ruang itu dengan menggenggam erat tanganmu, selamanya…”
Pesan tersebut justru membuat saya mengingat-ingat kembali, sepertinya saya tahu, kenapa Tuhan menciptakan ruang di antara jari-jari? Tapi jawabannya ‘sedikit’ berbeda…
Dalam tinjauan evolusi, pergerakan jari-jemari adalah pertanda kebudayaan. Salah satu faktor yang diperhatikan dalam penelitian tentang radiasi primates dan perjalanan evolusi hominid adalah kemampuan manusia dalam menggerakkan jari-jarinya. Keleluasaan ibu jari menyentuh jari-jari yang lain dan ukuran ibu jari yang hampir separuh dari tinggi jari telunjuk.
Keleluasaan tentu memerlukan ruang. Ruang mampu membuat ibu jari menyentuh jari yang lain, sentuhan inilah yang menghasilkan kebudayaan. Manusia mampu menggenggam. Kemampuan menggenggam ini menjadikan manusia mampu memercikkan api untuk pertama kali, membuat kapak perimbas, alat-alat serpih, beliung persegi, sampai pada kebudayaan yang lebih halus, seperti membuat perhiasan ataupun tari-tarian.
Mungkin itu juga yang dimaksud oleh pengirim pesan singkat tadi, karena diakui atau tidak, kemampuan menggenggam itulah yang melahirkan kebudayaan, termasuk budaya menggenggam itu sendiri…
Pertanyaannya adalah masih adakah kebudayaan yang akan terbentuk jika tangan-tangan itu akan digenggam erat ‘selamanya’??!

Jogjakarta, 21 Juni 2009
Saat tanganku masih bebas berbudaya…

Berikanlah Aku Hidup


Manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Tidak ada satu kebutuhan pun yang hanya bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri. Bahkan sejak ia belum lahir, apalagi saat akan diantar ke peristirahatan terakhir. Saat belum lahir, dia harus menumpang di rahim bunda-nya, setelah terlahir dia butuh orang lain untuk menopang fungsi hidupnya, dan ketika ia meninggal, harus di antar ke pemakaman. Hal ini tentu berlaku pada semua manusia, tanpa memandang status sosial mereka.
Sampai di sini belum selesai. Ketergantungan manusia tidak berhenti pada sesama manusia saja, tetapi juga pada makhluk Tuhan yang lain di sekelilingnya. Ketergantungan manusia yang paling besar justru ada pada makhluk hidup yang seringkali tidak dianggap hidup. Tahukah anda makhluk itu apa? Mungkin anda (dan juga saya) seringkali terlupa dengan makhluk hidup yang namanya tanaman/tumbuhan/pohon. Kita seringkali lupa kalau mereka juga hidup, bernapas, makan, dan mati seperti manusia. Yang dalam sistem ekologi, disebut sebagai produsen.
Seorang ilmuwan mengatakan, bahwa sepanjang hidup setiap manusia dari lahir sampai mati, akan ditopang oleh 5 pohon untuk memenuhi kebutuhan oksigennya. Jika disebut pohon, anda jangan membayangkan padi, tomat, soka, mawar, atau krisan. Tapi bayangkanlah tentang mangga, nangka, ketapang, asam, atau kelapa. Ini baru kebutuhan oksigen, belum yang lainnya. Pakaian yang kita pakai, rumah yang kita tempati, dan makanan yang kita makan tiap hari, bukankah sebagian bahan bakunya adalah pohon dan tanaman?
Sekarang, karena kita sama-sama dilahirkan sebagai manusia, mari kita berhitung. Berapa umur kita sekarang? Berapa banyak oksigen yang sudah kita hirup? Lalu bandingkan dengan berapa jumlah pohon atau tanaman (jika keberatan menanam pohon) yang sudah kita tanam, diusia kita yang kesekian? Apakah sebanding? Mungkin ada yang mengatakan ‘lebih’, ‘sama’, atau bahkan ‘kurang’. Anda memilih berada diposisi mana, apakah ingin melestarikan bumi yang kian renta ini (dengan menanam lebih), sekedar membebaskan diri dari utang oksigen (dengan menanan 5 pohon), atau kita masih ingin menjadi egois dengan tidak pernah menanam sebatang pohon pun? Semuanya terpulang kepada pribadi masing-masing. Paling tidak, saat ini kita tahu bahwa kehidupan di bumi sangat tergantung pada ketersediaan oksigen dari pohon-pohon itu. Apalah artinya jantung yang sehat, jika harus memompa darah tanpa oksigen?! Nihil…
Semoga kita tidak menjadi manusia yang hanya bisa menerima dan menggunakan, tanpa mau memberi atau menanam… Jangan sampai kita menanti sampai pohon-pohon itu berteriak “Berikanlah aku hidup…” Yah, jika kita yang hidup sekarang tidak bersedia menanam 5 pohon saja, maka kelak anak cucu kita yang akan meneriakkan suara pohon-pohon itu…

Jogjakarta, 21 Juni 2009
Kado ultah-ku dari Population Genetics

Selasa, 19 Mei 2009

Jus Orange


Setiap kehidupan punya caranya sendiri untuk dinikmati. Orang yang tak pernah melihat pantai, akan sangat takjub ketika melihat keindahan pantai. Sebaliknya orang yang terbiasa melihat hamparan pasir putih pantai berikut gugus karang indah yang melingkupinya, akan biasa-biasa saja jika melihat pantai berpasir coklat, gundul tanpa karang ataupun nyiur yang menghiasinya. Semua biasa saja, hambar.
Tapi apa iya, seseorang yang terbiasa melihat pantai karang yang indah plus pasir putihnya itu, tidak punya sedikitpun rasa senang bisa melihat dan menikmati pantai lain selain yang biasa dilihatnya? Jawabnya, tergantung orangnya bukan??? Jika aku diminta menjawab, maka aku akan menggunakan sifat manusia-ku, selagi ada peluang, kenapa tidak? Toh aku bisa menikmatinya, menikmati keindahan lain dari keindahan yang biasa kunikmati.
Hal yang sama dapat saja terjadi ketika kita sedang merasa kehausan yang sangat, seperti sebuah cerita menggelikan berikut. Seorang gadis sedang terduduk lesu karena kehausan, dan merasa tidak sanggup lagi berjalan untuk membeli minuman. Tanpa pikir panjang, ia mengirim sebuah pesan singkat kepada seorang temannya, “Tolong belikan aku segelas jus orange, aku haus sekali, kutunggu di tempat biasa, gpl” pesan itu dikirim, dan tidak perlu menunggu lama balasannya sampai “Tunggu ya”, dan gadis itu-pun menunggu. Sudah menjadi hal yang lazim, ia yakin temannya akan segera datang seperti biasa,, apalagi aku sedang kehausan, pikirnya membatin.
Lama ia menunggu, ternyata sang teman tak jua muncul. Rupanya di jalan ia bertemu dengan temannya yang lain, karena lama tak bertemu, ia pun berhenti untuk sekedar basa basi (yang akhirnya memang jadi basi). Tak lagi ingat waktu, dua orang kawan lama itu makin asyik ngobrol. Tak terasa butiran es di jus orange itu pun meleleh oleh panas yang nakal.. jatuh setitik demi setitik selelah si gadis yang sedang menunggu dengan peluhnya.
Sementara di tempat si gadis menunggu, tiba-tiba seorang temannya yang lain melintas, tidak sengaja memang, hanya kebetulan. Tapi secara kebetulan pula, ternyata temannya itu menawarkan segelas air mineral. Biasa, tidak dingin, dan tidak manis. Tapi cukup untuk menghilangkan haus yang makin mengeringkan tenggorokan. Tanpa pikir panjang, si gadis menerima tawaran itu. Ia segera menyedot pelan-pelan segelas air mineral itu dengan nikmatnya, hingga kesegarannya melebihi kenikmatan yang sesungguhnya.
Dan saya yakin, jika pesanan jus orange-nya tiba setelah itu, nikmatnya takkan sama dengan saat si gadis kehausan untuk pertama kalinya. Apalah artinya segelas jus orange yang segar di panas terik jika tak ada di hadapan kita, bila dibanding dengan segelas air mineral yang biasa-biasa saja, tapi ada.
Betulkan??? Terkadang waktu, keadaan, dan kebutuhan, cukup untuk membuat seseorang berpikir lain dari apa yang awalnya ia pikirkan. Dalam bahasa paling kasar, kita sering mendengar, tidak ada teman dan musuh yang abadi, yang ada hanyalah ‘kepentingan’ yang abadi. Semoga setiap persahabatan yang kita jalin, tak lekang oleh waktu dan kepentingan yang hanya akan menyisakan kekecewaan.

Jogjakarta, 18 Mei 2009
Sepiku – menepi sendiri
Cape nih ngerjain ekstraksi… jadi pengen jus orange…

Selasa, 12 Mei 2009

Kalimat Kepasrahan

Rabbi...
Sungguh agung karunia-Mu melingkupi hidupku
Tak terhitung oleh bilangan bintang
Melebihi luas samudera
Menawarkan semua pedih yang dibuat raga sendiri

Amal tak kan pernah cukup
Belum lagi diriku terlalu lalai
Entah maksiat mana lagi yang tak pernah kubuat
Tasbih dibalut dusta
Ikhlash berlapis keluh
Syukur beralas kufur
Sujud-sujudku hanya di hadapan-Mu
seolah setelah itu Kau tak lagi melihatku
sungguh, begitu hina untuk bersimbol muslim

Di atas keterbatasanku yang paling terbatas
di atas kehinaanku yang paling hina
di atas pengakuanku yang paling dalam
kuucap kalimat kepasrahan

Bismillahi Tawakkaltu Alallah
Wa Laa Hawla Wa Laa Quwwata Illa Billah


Jogjakarta, 12 Mei 2009
Di bawah teduh Gazebo Pertanian...

Kamis, 30 April 2009

Belajar Istiqomah dalam Ikhlas


Belajar istiqomah di atas kepingan hati yang pernah retak, mungkin sulit, bahkan sangat sulit. Sedikit saja digoyahkan, maka hati itu lagi-lagi akan retak, bahkan pecahannya bisa lebih banyak, lebih dalam dari sebelumnya. Terlalu menakutkan untuk dirasa, terlalu sakit untuk dikenang, terlalu pilu untuk dikisahkan. Bahkan sekedar membayangkannya pun, sakitnya tidak karuan.
Percaya, sebuah kata kunci yang ragu untuk ditanam pada hati yang salah, yang tak pernah salah pun bisa ikut-ikutan tersalah. Kira-kira rumus jitu apa yang bisa dipakai ya? Sulit rasanya memikirkan hal-hal yang sangat halus seperti itu. Kenapa? Karena tidak kasat mata. Belajar istiqomah itu berat. Hanya hati yang tahu. Hanya yang tulus yang bisa bertahan. Rasa sakit itu biarlah kalimat Tuhan yang menyembuhkan.
Tak perlu ada yang tahu, seberat apa hati dirundung pilu… cobalah untuk ikhlash…jangan hanya ikhlash disaat posisimu menguntungkan. Ikhlash saat tak ada ranjau. Saat tak ada bahaya. Cobalah tersenyum dengan hati, jangan hanya wajahmu yang tersenyum manis, tapi sejatinya hatimu menangis. Seperti aku santai mendengar namamu, tapi sangat angkuh ketika di hadapanmu. Bahkan aku seperti tak sedikitpun mengenalimu. Aku begitu bangga dengan ketakutanmu, tapi jauh dilubuk hatiku, aku sakit. Pedih melihatmu berlalu tanpa rasa salah, sama sekali.
Aku memang tak pernah menangisi kepergianmu, tapi kenapa aku tak bisa senantiasa ikhlash melepaskanmu? Kadang aku tersenyum puas karena kau telah pergi, tapi kadang aku benci karena kau melepaskanku begitu saja. Meski belakangan aku tahu, kau tak pernah ingin meninggalkanku.
Jogja, 08.
Catatan hatiku – Tuhan sedang mengajariku untuk tegar

Bah… membingungkan saudara. Tulisan di atas saya ‘cuplik’ dari buku harian seorang teman, tapi saya sudah diizinkan menerbitkan itu. Sekedar contoh aja, bahwa hati itu ada digenggaman Allah. Mau memilih yang mana, berjalan ke arah mana, berlabuh di dermaga yang mana, hanya Allah yang tahu. Jadi jangan coba-coba berkata ‘Pasti’ untuk bentuk janji apapun, kepada siapapun, tapi katakanlah ‘Insya Allah’. Sekedar untuk berhati-hati, bukan untuk melonggarkan janji, karena ‘Insya Allah’ juga merupakan bentuk kalimat janji. Mungkin saja disaat-saat terakhir, Allah membalik hati kita, pada sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Semoga saja tidak.
Maka cobalah untuk senantiasa belajar istiqomah. Istiqomah dalam pilihan, istiqomah dalam janji, dan istiqomah dalam ikhlash.

Jogjakarta, 18 April 2009
Special thanks buat temanku, untuk catatan hariannya…
Semoga Allah mengganti ‘dia’ dengan yang lebih baik
Sebuah janji, yang tidak akan pernah mungkin diingkari oleh-Nya

Minggu, 19 April 2009

Teror Bell


Ini bukan kejadian pertama di kost kami. Beberapa hari lalu juga ada orang misterius yang mengetuk pintu. saat ditanya dari balik pintu, siapa yang dia cari, orang itu malah menjawab: ‘tidak cari siapa-siapa, cuma mau tanya sesuatu’. Terdengar suara berat, yang tentu keluar dari tenggorokan seorang laki-laki. Kontan, kita yang ada di kost saat itu mulai ketakutan. Kesimpulannya, orang itu tidak dibukakan pintu. Sebelum itu juga ada, tapi kejadiannya sudah lama.
Akhir-akhir ini kost kami memang sering mendapat teror, malam hari setelah ada laki-laki misterius itu, jendela kamar mandi juga digedor-gedor tidak jelas. Lagi-lagi kami ber-14 yang tinggal disana, takut. Sangat takut. Maklum, kami semua perempuan, dan tidak punya ibu kost, apalagi bapak kost.
Sampailah kami pada pagi ini, yah, tadi pagi. Pagi yang mencekam. Pagi yang mungkin sulit kami lupakan, bahkan mungkin tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup kami. Hari ini di kost hanya ada tujuh orang. Tujuh yang lain belum pulang dari rumah. Di kamar bawah tiga orang, dan di kamar atas ada empat orang.
Pukul 03.30 WIB, bell berbunyi halus ‘ting tong’. Desy dan Wika, yang kamarnya paling dekat dengan sumber suara bell, sontak kaget. Aku justru masih pulas, berdiam di alam mimpi, tanpa mimpi, sepi. Sms pertama masuk ke ponsel-ku, sehalus apapun kalau suara itu dikenali pasti akan terjaga. Pesan dari desy. Isinya: “Mbak, ms’ ad org ting tong jm segini,, ih horror bgt c,,” Tiga menit berselang, wika mengirim pesan, “Siapa se mb tngh mlm gini pncet bel?gila y?” Bak gayung bersambut, kami bertiga pun saling mengirim pesan. Sementara bel di luar semakin sering di pencet, semakin keras, semakin memaksa, dan itu justru membuat kami semakin ketakutan. Sembunyi dibalik selimut yang sama sekali tak dapat melindungi telinga dari bunyi bell itu, kami dikecam ketakutan. Saling bertanya siapa yang datang? Kok tidak sms? dan sebagainya. Penasaran sih iya, tapi rasa takut kami lebih dahulu menguasai keadaan. Meski begitu, aku sempat tertidur,, masuk ke alam mimpi, tapi tak bersahabat. Alam itu seolah menolak hadirku, agar kembali ke alamku, melihat apa yang terjadi.
Untuk beberapa saat, suara bel yang sudah mulai diikuti ketukan pintu, berhenti. Hening. Lega tapi tetap takut. Masih ada suara berisik dari pintu depan.
Pukul 04.25 WIB, suara adzan memecah hening Jogja, bell kembali santer terdengar, berkejar-kejaran, susul menyusul bersama ketukan pintu yang makin sering, makin keras didengar, makin kencang andai ada yang menghitung frekuensinya. Takut. Makin takut. Tapi kali ini lain. Subuh, mau tidak mau, kami harus bangun.
Tanpa aku tahu, Desy yang sejak tadi menahan HIV-nya (Tau HIV kan? ‘hasrat ingin vipis’), naik ke lantai atas, karena takut membuat keributan suara dari kran air di lantai bawah, nanti bell-nya makin kenceng dibunyikan. Ternyata penghuni lantai atas sudah bangun semua dan bersepakat untuk menanyakan siapa yang ada diluar.
Yah, sebelumnya sih udah ngintip dari balkon, tapi ngga keliatan, gelap. Lampu teras mati sejak beberapa hari yang lalu, nambah horor kan???
Akhirnya, Wiwit, Yanu, Wika, dan Desy (ntah berani, ato diberani-beraniin) menuju pintu depan. Wiwit terdengar bertanya: “Siapa ya?”
Suara dari depan terdengar halus “Ratih”
Haaa, Ratih???
Sontak mereka semua mendekat ke pintu depan, dan membukanya. Bersamaan dengan itu aku dan kiki keluar dari kamar masing-masing, masih ga percaya, kalo itu ratih, salah satu penghuni kamar atas.
Entah pertanyaan apa saja yang sudah kami cecar untuk ratih, entah udah berapa pendapat yang kami keluarkankan harusnya kamu begini dan begini… tapi terlambat, ratih sudah lemas. Dia sudah tidur di teras sejak pukul 24.00 WIB. Sempat memencet bell beberapa kali tapi tak ada respon, mungkin kami semua sedang terlelap, tak ada yang dengar.
“aku dari kampus”
“pulang jam duabelas”
“tidur di sini (sambil menunjuk lantai depan pintu)”
“aku sms mb rinta” kata ratih pelan dan lirih, satu-satu kalimat, dia terlihat lelah dibalut takut.
Tau ngga sodara, Rinta-nya di mana? Di rumah, di Pituro, Purworejo, dia belum pulang.
Yah itulah tragedi bell di pagi buta, yang akan menjadi satu dari segenap kenangan manis-ku di ‘asrama muslimah’.

Jogjakarta, 20 April 2009; 06.02 WIB
Sepi – sesepi ruang dengarku yang kubalut dengan syahdu ‘Al Kahfi’
Ini request dari anak kost,
Kupersembahkan buat ke-13 putri sholihah di Asrama Muslimah

Jumat, 27 Maret 2009

Anekdot Tentang Riset


Seorang peneliti bidang entomologi, ingin mengetahui di mana letak saraf pendengar pada belalang. Lalu ia mengadakan penelitian dengan melakukan beberapa perlakuan sebagai berikut.
Pertama, dilakukan amputasi terhadap kaki depan sebelah kanan belalang. Kemudian belalang itu diberi kejutan dengan suara ketukan meja, hingga terkejut, dan terbang.
Kedua, dilanjutkan dengan amputasi kaki depan sebelah kiri. Dengan kejutan yang sama, belalang itu terkejut lalu terbang.
Ketiga, peneliti melakukan amputasi terhadap kaki belakang sebelah kanan, dari belalang yang sama. Perlakuan diberikan dengan memberi kejutan, hingga belalang itu kembali terbang meskipun awalnya mengalami kesulitan.
Keempat, peneliti akhirnya melakukan amputasi terhadap kaki belakang sebelah kiri belalang (yang merupakan kakinya yang terakhir) hingga belalang itu sama sekali tak berkaki. Ketika diberi kejutan dengan suara ketukan meja, belalang itu tidak dapat terbang lagi.
Peneliti kemudian mengambil kesimpulan: saraf pendengar belalang ada di kaki.
Apakah anda juga menyimpulkan demikian??? Silahkan dipikirkan!

Di tempat yang lain, seorang guru ingin memberitahukan kepada siswanya tentang bahaya minuman keras. Lalu sang guru membuatkan ilustrasi dengan melakukan percobaan sebagai berikut.
Sang guru menyiapkan 2 buah gelas. Gelas I diisi dengan air mineral dan gelas II diisi dengan alkohol. Pada masing-masing gelas dimasukkan seekor cacing perut (Anchilostoma duodenale). Cacing yang dimasukkan pada gelas I, tetap hidup. Sedangkan cacing di gelas II, menjadi kaku dan mati.
Sang guru puas dengan hasil percobaan itu, dia yakin para siswa akan mudah memahaminya. Ia pun kemudian bertanya kepada siswanya: “Siapakah yang bisa menyimpulkan hasil percobaan tadi?”
Seorang siswa dengan sangat yakin mengangkat tangannya: “Saya Pak!”
Guru: “Silahkan!”
Siswa: “Kalau tidak mau cacingan, minum alkohol yang banyak!!!”
Guru: Heeh …….???/// 

Kedua contoh di atas adalah kesalahan dalam interpretasi sebuah hasil percobaan. Inilah pentingnya membaca, mengetahui secara runut, apa yang menjadi tujuan dalam percobaan. Menggunakan metode yang benar, dengan meminimalkan kesalahan persepsi pada orang lain yang menjadi pemakai hasil percobaan kita.

Jogjakarta, 23 Februari 2009 – Selepas kuliah Metodologi Penelitian Biologi

Surat Perdamaian


Istirahat pertama, 3 IPA I hening. Hanya beberapa orang saja yang masih bertahan di kelas, yang lain pada ngacir. Masih jelas dalam ingatanku, saat teman-teman dari geng cewek merumuskan ‘surat perdamaian’ itu. Santai aku menghampiri, lalu menawarkan bantuan untuk menyusun kalimat dalam surat itu. Dalam balutan seragam putih abu-abu, kita selesaikan surat itu hanya di istirahat pertama, lalu dikirim ke geng cowok di 3 IPA III waktu itu.

Istiratah kedua, perasaan suntuk menyerangku, lelah tinggal di kelas seharian. Iseng, aku maen ke 3 IPA III. Seorang anggota geng cowok mendekat. “Aku ingin bicara denganmu” lirihnya. Lalu kami berjalan ke taman sebelah kelas, dan dia berkenan menyodorkan selembar kertas. Ku baca tulisan di kertas itu, yang ternyata sebuah surat perdamaian yang kami rumuskan di istirahat pertama tadi.

Selesai aku membaca, dia bertanya “Bagaimana menurutmu?, apakah kami harus memaafkan mereka (geng cewek)?”

“Iya…terima saja maafnya, perempuan memang begitu, sangat emosional, tapi gampang luluh, lagian mereka kan sudah minta maaf, maaf dari kalian akan menunjukkan kebaikan kalian, bukan menjatuhkan harga diri kalian” jelasku yang tidak bisa menyembunyikan rasa geli. Bagaimana tidak, kan aku juga ikut mbantuin geng cewek buat nulis surat itu.

“Yup…baiklah” kulihat dia lega menarik kesimpulan sambil memasukkan kembali surat itu ke saku celananya.

“makasih ya nyonya…”

“sama-sama”

Aku kembali ke kelas, masih geli rasanya aku mengingat kejadian tadi.

Jam pulang sekolah, seperti biasa, anggota geng cewek ngumpul dulu di kelasku (karena dua dari lima anggotanya sekelas denganku).

“Makasih ya…suratnya jitu, kami semua udah baikan” begitu kata salah seorang anggota geng cewek.

“Yup, sama-sama, laen waktu jangan berantem lagi ya…”

“Ok,…”

Akupun berlalu dari hadapan mereka dengan segenap perasaan lega. Entah kenapa aku begitu senang bisa mendamaikan mereka. Apa mungkin karena perdamaian itu memang indah???

Jelasnya aku mengingat kisah itu, hingga saat ini, saat aku menuliskannya kembali dalam salah satu episode di catatan dasawarsa-ku…

Dan hingga hari ini, tak satupun dari mereka saling tahu, kalau aku terlibat secara silang dalam perdamaian itu. Semoga saja mereka tidak tahu dan tidak akan pernah tahu…

Jogjakarta, 23 Februari 2009

Semoga persahabatan kita abadi…Amiin…

Selasa, 24 Februari 2009

Rumah Cinta


Seringkali aku tidak menyadari kalau rumah ini milikmu. Paling tidak kau membangunnya untukku (jika tidak ingin disebut sebagai pemiliknya). Tapi apa yang terjadi? mungkin setiap kali kau singgah di rumah ini, kau dapati diriku sedang murung, merajuk, dan mengadukan seluruh masalahku dengan orang banyak di sekelilingku. Sama sekali aku tak pernah memberimu senyuman. Padahal ini rumahmu. Sebenarnya kamu bisa saja marah karena ulahku, tapi itu sama sekali tak kau lakukan, tidak pernah, satu kalipun. Bahkan terakhir kau bilang padaku, “rumah ini bagus”. Kalimat yang membuatku tersanjung sekaligus bingung.

Kali ini aku minta maafmu, maafkan atas kelengahanku, maafkan karena aku tak peduli dengan perasaanmu. Izinkan aku menyebut rumah ini ‘Rumah Cinta’, untuk membuatmu berarti membangunkan rumah ini untukku.

Rumah cinta, muara segenap ilmu yang dititipkan Sang Maha kepadaku. Menjadi bermanfaat untukku, untukmu, dan untuk kalian semua yang sering bersilaturrahim ke rumah kami.

Sekarang, ingin kuperlihatkan kepadamu, sedikit dari sekian banyak hiasan kasih di dinding rumah kita,,,


Terlalu pagi jika kuceritakan hari ini

Tapi siapa yang bisa melawan hati

Cinta, yang entah dari mana muaranya

Tak kuasa kuredam oleh kasihmu yang pualam

Sebuah isyarat:


Teeeeettttttttttttttttttttttttt....................

Wah...ternyata disensor sodara...ga boleh diposting lanjutannya, padahal masih beberapa strip..rahasia perusahaan nich...maav yach...



Minggu, 15 Februari 2009

Nasib Manusia Telah Ditetapkan

Yah...nasib manusia memang telah ditentukan oleh Allah, bahkan lima ribu tahun sebelum ia diciptakan. Tak ada yang bisa disangkal, tak ada yang bisa didahulukan ataupun diakhirkan. Setiap takdir akan tetap berjalan sesuai aturan main yang ditetapkan oleh Allah ’Azza wa Jalla. Nasib manusia telah ditetapkan, tetapi siapakah di antara kita yang telah mengetahui apa yang akan terjadi esok? Itulah perlunya ikhtiar, karena tidak ada yang kita ketahui sebelumnya, apa yang akan terjadi.

Untuk meyakinkan kita, mari kita simak bunyi Hadits Arbain ke-4:

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu telah berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan dia selalu benar dan dibenarkan: "Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian menjadi gumpalan seperti potongan daging selama itu juga, kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya (menulis) 4 perkara: (1) ketentuan rezkinya, (2) ketentuan ajalnya, (3) amalnya, (4) ia celaka atau bahagia.

Maka demi Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain-Nya, sesungguhnya seseorang di antara kamu melakukan perbuatan ahli surga sehingga tidak ada di antara dia dan surga itu kecuali sehasta, maka mendahuluilah atas takdir Tuhan, lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka maka ia masuk neraka. Dan sesungguhnya seseorang di antara kamu melakukan perbuatan ahli neraka sampai tidak ada di antara dia dan neraka itu kecuali sehasta, maka mendahuluilah atasnya takdir Tuhan, lalu ia melakukan perbuatan ahli surga maka ia pun masuk surga" diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Jogjakarta, 15 Februari 2009

Konservasi Spesies Endemik


Pulau Sulawesi terletak pada zona Wallace, yaitu zona peralihan antara zona Endomalaya (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan) dan zona Australonesia (Nusa Tenggara dan Papua). Letaknya yang strategis membuat Sulawesi dianggap memiliki kekayaan flora dan fauna, yang secara morfologi berbeda dengan kedua zona yang lain. Anoa dan Babirusa adalah contoh spesies yang hanya ditemukan di zona Wallace. Jika boleh penulis berasumsi, masih banyak jenis lain dari flora dan fauna di pulau Sulawesi yang belum diketahui endemisitasnya, yang hanya ditemukan di pulau tersebut.

Keadaan ini juga sangat mungkin berlaku bagi kepulauan Selayar. Sebab secara teoritis, dari tiga spesies yang ada di suatu kepulauan, dimungkinkan salah satunya endemik. Belum banyak pakar yang melakukan penelitian secara intensif terhadap kekayaan jenis flora dan fauna yang terdapat di kabupaten kepulauan Selayar. Sehingga tidak dapat diketahui secara pasti kebenaran teori tersebut (paling tidak, untuk diberlakukan di Selayar). Jika anda berniat mengidentifikasinya, dunia konservasi akan sangat menghargai hasil kerja anda.

Beberapa contoh spesies yang dapat dikonservasi dari kelas flora adalah berbagai jenis jeruk. Jika penduduk setempat menyebut ‘Jeruk Selayar’, adakah kemungkinan jenis ini hanya terdapat di Selayar? Semoga pertanyaan ini sudah ada jawabannya (meskipun pada buku identifikasi belum pernah penulis temukan nama ‘Jeruk Selayar’ berdiri sendiri sebagai spesies).

Kelapa juga merupakan tumbuhan (maaf, penulis tidak tahu apakah kelapa di Selayar itu tumbuhan atau tanaman) yang melimpah ruah. Pernahkah ada yang mengidentifikasi varietasnya? Diasumsikan dari sekian banyak pohon kelapa di berbagai daerah, masing-masing merupakan varietas yang berbeda. Bahkan jika diuji secara molekuler, dan kesamaan antara dua varietas kelapa tersebut kurang dari 80%, maka keduanya dianggap berbeda spesies. Menarik bukan?

Dari kelas fauna, Selayar yang dikaruniai banyak pantai karang tentu memiliki kekayaan Invertebrata yang tinggi. Mulai dari phylum Porifera, Coelenterata, Arthropoda, Mollusca, dan mungkin yang paling banyak jumlahnya adalah anggota dari phylum Echinodermata. Di antara berbagai jenis Invertebrata ini, boleh jadi salah satunya merupakan spesies endemik yang ada di kepulauan Selayar. Sebuah anugerah lain, di antara keindahan yang ada sebelumnya.

Spesies endemik dari jenis flora dan fauna ini memerlukan identifikasi yang lebih luas, untuk kepentingan konservasi. Sehingga hasilnya dapat memerikan kekayaan flora dan fauna yang menghuni daratan dan pantai Selayar. Apakah sebenarnya tujuan identifikasi ini? Jika hasil identifikasi tidak menunjukkan adanya spesies baru, maka identifikasi bertujuan untuk mengetahui kekayaan jenis di kepulauan tersebut, untuk selanjutnya dikonservasi. Tetapi jika hasil identifikasi ditemukan adanya variasi yang memunculkan varietas, maka identifikasi sangat berguna untuk pemuliaan. Menghasilkan tanaman komoditas yang tidak itu-itu saja, tetapi mampu berkembang menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Penulis sangat berharap ada kaum muda daerah, terutama dari kalangan mahasiswa yang menjadikan wacana ini sebagai objek penelitian. Apakah anda tahu, betapa Indonesia sangat minim dalam kepemilikan staf ahli di bidang konservasi flora dan fauna? Apalagi untuk mengidentifikasi spesies endemik di suatu kepulauan, hampir tidak ada. Penelitian-penelitian kekayaan jenis lebih banyak dilakukan oleh peneliti asing yang hasilnya justru merugikan Negara kita. Mereka meneliti untuk tujuan pemuliaan, setelah menghasilkan varietas atau bahkan spesies yang khas, hasilnya kemudian dipatenkan, dan akan kita beli sebagai komoditas mereka, dengan harga yang lumayan mahal.

Jogjakarta, 14 Februari 2009

Maksud hati tak sekedar berkata-kata, namun jarak dan batas waktu terlanjur melapukkan usia…

Catatan Dasawarsa-ku

Jika Tuhan memberiku kesempatan,

Ingin rasanya bercengkrama dengan waktu

Sekedar bertanya, ingatkah ia dengan kisahku

Dasawarsa silam yang penuh roman

Mengais aroma cinta yang tak jua padam

Harap dalam gelap

Rindu dalam senyap

Antara ada dan tiada

Kisah dua rana bermula


Jika sang waktu ku tanya,

ia pasti tak berubah

Detik, menit, dan jamnya tetap sama

Aku mencoba mengangguk, meski batinku berteriak ‘Berhentilah berputar’ aku masih ingin di sini

Aku terus saja meneriakkan kalimat batinku, hingga tanpa kusadari waktuku benar-benar pergi


Aku belajar bercengkrama dengan waktu yang lain

Ingin kucatat hariku dengan tinta yang sama,

Tapi sayang…

Penaku patah, lalu hilang entah kemana

Aku hanya sanggup melukis kisah itu dalam benakku,

Hingga kelak akan kuukir dalam kertas tulisku saat aku punya pena baru


Sang waktu terus saja mengantarku

Membisikkan kisah-kisah itu agar kuingat

Untuk dikenang

Jadi peringatan

Jadi bentuk syukur

Jadi penanda kebeningan sukma yang kuabaikan…


Dasawarsaku mencatat…

Adamu akan abadi sebagai kekasih, namun jalannya aku tak mengerti

Adamu menyanjung hati, menyejuk hari, membias kasih, namun ku tak bisa melepas yang abadi

Adamu mengajariku mengerti pilihan, pengorbanan, penantian, berbesar hati, tapi lagi-lagi aku tak bisa mengiring langkahmu lebih jauh lagi

Adamu membuatku makin kuat memapah ego-ku, menatap mata elangmu dan mengajakmu pada debat yang akhirnya sependapat. ‘Aku tak ingin bertengkar denganmu’ begitu kalimat peluruh, yang sama sekali tak bisa meluruhkanku.

Entah ada berapa kamu-kamu lagi yang tercatat dalam dasawarsaku, tapi semuanya tetap sama tak ada yang bisa membuatku bergeming. Bahkan untuk sekedar mencoba berbagi senyum, yah…kecuali sedikit

Sampai suatu ketika, dasawarsaku berhenti mencatat!


Mungkin saat itu aku terdampar,

Atau sekedar ingin jalan-jalan

Menikmati hembusan angin lain yang ternyata ‘SAMA’

Pada bilangan itu aku belajar tersenyum,

benakku berujar ‘Horeee…aku punya pena lagi, aku bisa menulis lagi’

Girang seluruh hari kulewati

Berharap akan kucatat dasawarsaku dengan tinta yang baru

Tapi…Sorakanku tiba-tiba terhenti

Aku terdiam mematung saat kudapati pena patahku tergeletak lesu di meja kerjaku, hampa…

Kupandangi lekat pena itu, kuperiksa setiap sisinya,

Tanpa berani menyentuhnya

Karena digenggamanku ada pena baru yang kudapat dari dasawarsaku


Ingin rasanya marah pada pena tuaku

Siapa yang telah membawamu pergi?

Hingga aku tak bisa menulis lagi

Hingga catatan dasawarsaku tak bisa kusambung lagi

Dan hari ini, saat aku ingin menulis dengan pena baruku,

Wujudmu hadir tanpa pernah permisi


Yah…memang hanya sebatang pena

Tapi andai ia punya rasa

Ia pun ingin merasakan waktu

Kupandangi sekali lagi pena tuaku

Kali ini kusandingkan ia dengan penaku yang baru


Tentu yang tua sudah lusuh

Aku hapal benar warna tajam tintanya saat digoreskan

Aku paham betul saat lelahnya dan saat indahnya tatkala ia mencatat dasawarsaku

Kualihkan pandangan ke pena baruku, cantik, aku tersenyum memandanginya

Ada rasa puas saat aku bisa memilikinya

Pena pemberian, entah dari dasawarsa yang mana


Sang waktu tak pernah membiarkanku jadi manusia rakus

Dasawarsaku hanya butuh satu pena

Aku mulai bingung tak tau harus mengambil yang mana

Nafsuku meminta yang baru

Karena pena tuaku telah patah

Layak diganti dengan yang baru


Tapi hatiku tak bisa dusta

Betapa dasawarsaku hanya diisi oleh catatan dari tinta tajam pena tuaku, tak ada yang lain


Ku biarkan sang waktu berlalu

Ia yang kuberi kehormatan untuk memilihkanku

Sementara waktu, kubiarkan kedua pena itu menghuni meja kerjaku,

Tanpa ada yang kusentuh


Hingga suatu hari…

Sang waktu membawakanku secarik kertas putih…

Aku tergerak untuk mengisi kertas itu dengan tulisan dari pena-penaku

Toh hanya pena,

Aku bisa memakainya bergantian

Dan…aku hanya mencoba

Sampai salah satu dari penaku digilas oleh waktu


Pertama, kucoba dulu pena tua-ku

Yaaah seperti biasa,,,

Ia bisa menulis sesuai instruksi jari-jariku

Tintanya tajam, hurufnya jelas, pesannya tegas

Aku senang melihatnya


Kedua, kucoba memakai pena baruku

Satu dua huruf kutulis

Dua tiga kali kuulangi

Namun tak ada tinta yang bisa kulihat

Tak ada tulisan di atas kertas putihku

Sedih rasanya jiwa ini

Menatap rupa tak dapat pengerti


Dalam lesu-ku, sesosok tubuh datang menghampiri

Membawa kertas legam tak berisi

Tanpa berucap kata, diambilnya pena itu dari tanganku

Lalu…ditulisnya beberapa patah kata pada kertas hitam itu

Ternyata…jelas! Bisa terbaca dan aku mengerti

Orang itu memandangiku dengan tetap menggenggam pena baruku

Seolah berharap aku berkenan memberikan untuknya


Aku hanya tersenyum, tak ada yang kuucapkan

Aku kemudian berlalu dari hadapannya sambil membawa kertas putih dan pena tuaku

Kini di meja kerjaku hanya ada tumpukan kertas putih bersama sebatang pena tua yang telah kusambung patahannya

Hanya fisiknya yang cacat, tintanya masih sama seperti yang dulu

Sama dengan catatan dasawarsaku


Aku berterima kasih pada Sang Pemilik kehidupan

Yang telah membuat sang waktu memilihkanku

Sesuatu yang kubutuhkan,

Mengisi catatan dasawarsaku

Tak pernah usai

Menanti dan menemani semerbak keabadian kasih…


Mojopuro Wetan, 5 Februari 2009, 18.02 WIB

Untuk setiap Februari yang kulewati…

Membangun Ekotourism dengan Travel Cost Method

Secara umum daya tarik daerah kepulauan adalah keindahan panorama alam yang dimilikinya, termasuk juga Selayar. Tetapi untuk mewujudkan Selayar menjadi daerah tujuan wisata, perlu upaya pengelolaan sumber daya alam secara lebih serius. Menemani Bali yang telah begitu terkenal, sampai-sampai mengalahkan Indonesia. Konon kabarnya, seorang wisatawan mancanegara pernah menanyakan: “Indonesia itu di sebelah mananya Bali?” Sebuah bukti bahwa Bali memang sangat tersohor.

Travel cost method adalah sebuah metode pengembangan pariwisata dengan memperhitungkan besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh seorang wisatawan untuk mengunjungi suatu daerah. Metode ini belum banyak digunakan di Negara berkembang, atau mungkin sudah dikerjakan tetapi belum dibuatkan perhitungan yang pas dalam memanfaatkannya, atau pemerintah daerah setempat tidak meyadari telah menggunakan metode ini.

Kabupaten kepulauan Selayar banyak memiliki objek wisata alami yang masih asri, sebut saja pantai Taloyya, Jeneiya, air terjun Suttiya, dan yang paling terkenal adalah keindahan Taman Nasional Laut Taka Bonerate –dan mungkin ini yang sudah tidak asri lagi-. Selain objek wisata alam, juga terdapat benda-benda peninggalan dan situs kebudayaan yang bisa dipamerkan sebagai kesenian khas daerah kepulauan.

Travel cost method akan memperhitungkan pengeluaran seorang wisatawan apabila mengunjungi suatu objek wisata, baik pengeluaran untuk biaya transportasi, akomodasi, maupun konsumsi. Misalnya seorang wisatawan (utamanya wisatawan asing) yang sengaja datang ke Selayar untuk berkunjung ke Taka Bonerate, tentu pada akhirnya mereka tidak hanya ke tempat itu saja, tetapi juga akan berkunjung ke objek wisata lain yang ada di Selayar –jika ada, dan layak untuk dikunjungi-. Dengan begitu, lambat laun semua objek wisata akan dikenal dan mulai banyak dikunjungi wisatawan. Jumlah pengunjung yang datang, akan berbading lurus dengan pendapatan daerah, dan seharusnya juga berbanding lurus dengan peningkatan pembangunan perekonomian, pariwisata, dan pendidikan di tempat tersebut.

Untuk mewujudkan semua itu, memang tidak mudah. Perlu pembangunan fasilitas, sarana, dan prasarana penunjang. Pembenahan terhadap sumber daya manusia yang akan mengelola sektor ini juga penting. Jika komponen daerah memfasilitasi berupa pengelolaan lokasi wisata dan hasil retribusi, kemudahan transportasi, akomodasi, dan perangkat penunjang lainnya, tentu akan melengkapi keasrian objek wisata tersebut. Menambah keindahan dan daya tarik bagi para wisatawan.

Dengan terpenuhinya aspek-aspek tersebut, diharapkan kegiatan pariwisata mampu berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian daerah. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama yang secara langsung menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata.

Dukun Gresik, 2 Februari 2009

Sebuah jalan mengakrabi pesona yang terabaikan…

Aku Tidak Tahu


Mungkin hatiku sudah terlalu sakit

Mungkin lukaku sudah terlampau dalam

Hatiku jadi begitu lumpuh untuk merasakan simponimu

Aku tidak tahu berapa jauh lagi langkahku

Aku tidak tahu berapa banyak air mataku yang harus jatuh

Aku tidak tahu berapa banyak kebaikan yang sudah kau buat untukku

Untuk sekedar menghentikan raguku

Jangankan kamu, aku saja tidak tahu

Bukannya maaf itu tidak berguna

Mungkin hatiku harus diganti dengan yang baru

Kasih Tuhan-ku terlalu agung untuk kulewatkan dengan hati yang rapuh

Rapuh oleh guyuran air mata duka yang tiada putusnya

Duka usang yang tidak mungkin berubah

Meski habis air mataku menyayangkannya

Mungkin aku butuh waktu

Untuk memahami gelombang jiwaku sendiri

Asa ini terlalu berat untuk kutanggung sendiri

Tapi siapa yang bisa membantuku?

Jika yang kusesali hanya lembaran-lembaran usang

Tak bisa berubah, bahkan membatu menjadi sejarah

Jumat, 23 Januari 2009

Surat Cinta Virginia

Belajar memahami sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan kita memang sulit, bahkan sangat sulit. Pernahkah anda berpikir bahwa memahami pria tidaklah sama dengan memahami wanita? Jika anda belum pernah memikirkannya, maka saat ini sepertinya anda perlu mempertimbangkan, ini demi kesuksesan hubungan anda dengan siapapun, tentu yang berbeda gender dengan anda.

Surat cinta ini menceritakan kekecewaan seorang Virginia kepada Jim, suaminya. Suatu ketika Jim akan keluar kota untuk sebuah perjalanan bisnis. Sebagai bentuk perhatian, Virginia berkenan menawarkan Jim beberapa potong mangga untuk menghabiskan petang terakhir hari ini. Namun Jim tetap sibuk dengan buku-bukunya dan hanya menjawab singkat bahwa dia tidak lapar. Virginia merasa ditolak dan kecewa, tetapi ia tidak berani langsung menegur suaminya, sehingga ia pergi dan menulis sepucuk Surat Cinta untuk suaminya.

Begini bunyi surat itu:

“Aku kecewa kau membaca buku, padahal ini malam terakhir kita bersama-sama sebelum kau pergi. Aku marah kau mengabaikan aku. Aku marah karena kau tak ingin menghabiskan saat ini bersamaku. Aku marah karena kita tidak lagi meluangkan waktu bersama-sama. Selalu saja ada sesuatu yang lebih penting daripadaku. Aku ingin merasa kau mencintaiku.

Aku sedih kau tak ingin bersamaku. Aku sedih kau bekerja terlalu keras. Aku merasa kau bahkan tidak tahu apakah aku ada di sini. Aku sedih karena kau selalu begitu sibuk. Aku sedih kau tak ingin bicara denganku. Aku tersinggung karena kau tak peduli. Aku merasa tidak istimewa.

Aku khawatir kau bahkan tidak tahu kenapa aku marah. Aku khawatir kau tak peduli. Aku takut membagi perasaanku denganmu. Aku khawatir kau akan menolakku. Aku takut kita semakin jauh terpisah. Aku takut tak dapat berbuat apapun untuk mengatasinya. Aku khawatir membosankanmu. Aku khawatir kau tidak menyukaiku.

Aku sangat menyesal ingin menghabiskan waktu bersamamu, padahal kau tak peduli. Aku menyesal menjadi sangat marah. Maafkan aku kalau ini kedengarannya terlalu menuntut. Aku menyesal tidak lebih menyayangi dan menerima. Aku menyesal bersikap dingin saat kau tak ingin menghabiskan waktu bersamaku. Aku menyesal tak memberimu peluang lagi. Aku menyesal telah berhenti mempercayai cintamu.

Aku benar-benar mencintaimu. Itu sebabnya aku membawa mangga itu. Aku ingin melakukan sesuatu untuk menyenangkan hatimu. Aku ingin menghabiskan saat istimewa itu bersama-sama. Aku masih ingin menikmati petang yang istimewa. Aku memaafkan ketidakpedulianmu terhadapku. Aku memaafkan sikapmu yang tidak langsung menanggapi. Aku mengerti kau sedang membaca sesuatu. Marilah kita menikmati petang yang indah dan penuh cinta.”

Aku Mencintaimu,

Virginia

Demikianlah surat cinta Virginia, sebuah bentuk kesalahpahaman. Virginia sedang berpikir dengan emosinya sedangkan Jim sedang berlogika. Kalau saja saat itu Virginia langsung marah di depan Jim, tentu Jim akan heran. Apa yang membuatnya marah? Bukankan dia melihatku sedang sibuk? Dan bukankan penolakanku ini wajar?. Kalau saja Virginia juga menggunakan logikanya, mungkin dia akan menerima penolakan Jim, namun sayang, sebagai seorang wanita perasaannya lebih butuh untuk dipenuhi daripada berpikir dengan logika.

Morilnya, belajarlah untuk memahami dengan siapa anda sedang berinteraksi, pertengkaran dan perselisihan bukanlah signal perpisahan, tetapi peringatan bahwa sudah saatnya untuk membuat ritme-ritme baru dalam perjalanan hubungan anda.

Jogjakarta, 23 Januari 2009

By the end of the day, it is all about mindset. Have a great love with your loved one...

Diadaptasi dari buku “Men are from Mars, Women are from Venus” karya John Gray, Ph.D.

Psikologi Penulis

Dunia jurnalistik memang tak pernah kering dari ide-ide cemerlang para penulis. Kali ini saya ingin meninjau sebuah penilaian psikologis tentang penulis, utamanya tulisan-tulisan buah karya seorang penulis perempuan. Mungkin sebagian reader yang pernah mampir ke blog ini heran, mengapa tulisan yang tersaji pada ‘kolong langit’ dan ‘bengkel sastra’ umumnya bertema kesedihan, penyesalan, kekecewaan, dan lain-lain yang tidak menyenangkan. Secara tidak sadar saya berusaha mengamati fenomena ini, sampai suatu ketika saya menemukan jawabannya.

Setiap penulis punya gaya sendiri, ada yang suka menuliskan keindahan adapula yang gemar berbagi cerita kepedihan. Mungkin saya termasuk yang kedua. Anda tahu kenapa? Bagi saya kesedihan atau perasaan duka yang sedang saya alami atau orang-orang di sekitar saya akan lebih mudah disederhanakan dengan menulis. Mengapa? Karena kesedihan ada batasnya, sehingga hanya dengan menuliskannya semua kesedihan itu bisa sirna. Coretan pena mampu meluapkan gelombang kepedihan dan menghempaskan tanpa tersisa. Melapangkan hati, membersihkan emosi jiwa tanpa memilih. Tetapi, kebahagiaan itu tak terbatas, sehingga tak ada kata-kata paling indah pun yang dapat melukiskannya. Sungguh kebahagiaan adalah mata air surgawi yang sejuk, mewarna waktu, merona hari, merindu abadi. Tak terlukis, tak terbatas, tak berakhir.

Mungkin kelihatannya tidak adil. Tapi itulah jiwa penulis. Tak dapat dipaksakan, seseorang akan menjadi penulis model apa, dengan gaya seperti apa. Namun itulah warna yang mereka punya, kisah nyata yang akan mereka tuangkan harus punya napas. Napas sastra berisi pesan yang harus sampai pada pembaca. Bahwa tulisan itu dibangun dengan alur yang hidup, ditulis dari hati, untuk disampaikan pada hati pembacanya.

Jogjakarta, 23 Januari 2009

Tersenyumlah...

Pernahkah ada duka dalam seulas senyum???

Cukuplah pemiliknya yang tahu

Pernahkah ada perih dalam sesungging senyum???

Biarlah pemiliknya yang sadari

Tak perlu risaukan makna senyum itu…

Yang pasti senyum tetap menjadi siluet untuk menyambut siapapun, kapanpun, dan dimanapun

Indah bukan???

Jika aku menatapmu dengan seulas senyum?

Sungguh… seulas senyum mampu mendinginkan amarah apapun bentuknya

Bak panas menyengat diguyur hujan sesaat

Sungguh… sesungging senyum mampu melebur lelah, betapapun penatnya

Seperti diriku yang saat ini tersenyum untukmu

Bahkan senantiasa sepanjang hidupku… aku akan selalu tersenyum untukmu

Untuk persahabatan, persaudaraan dan kasih yang tiada bertepi…

Jogjakarta, 14 Januari 2009