Memprihatinkan. Itu kesan pertama yang saya tangkap dari beliau, ketika mengurai suasana pendidikan di wilayah yang beliau ampu dan sekitarnya. Jauh dari sehat, kurang kompetitif, dan ‘terkenal’ arogan.
Terlepas dari perbincangan itu, saya mencoba merenungkan penilaian beliau tersebut. Mengingat-ingat kembali pola-pola pembelajaran yang juga saya rasakan, hampir 15 tahun, lebih dari separuh umur saya.
Mencerdaskan manusia memang harus dengan cara-cara manusia. Sarat keinginan menuju sempurna, tapi tetap dengan cacat di mana-mana. Itulah manusia, kesempurnaannya adalah ketidaksempurnaan itu sendiri. Saya kira kita sepakat, kelemahan bukanlah alasan, tapi peluang. Peluang untuk maju, menjadi lebih baik, menyelamatkan generasi selanjutnya. Sepertinya belum terlambat. Kalaupun terlambat, itu lebih baik, daripada tidak sama sekali.
Pembahasan ini bersifat umum, jika saya menyebut siswa, bukan berarti saya bercerita tentang SMA. Jika saya menyebut guru bukan berarti itu sekolah (bisa berarti kampus atau lembaga pendidikan lainnya). Cerita-cerita ini adalah bagian dari bayangan masa lalu saya, saat menjadi siswa dari guru saya, lalu kemudian menjadi guru bagi siswa saya.
Cerita pertama, kelemahan guru dalam menilai siswa.
Banyak guru yang melihat siswa dari latar belakang orang tua atau status sosial. Sebenarnya itu tidak masalah, apalagi untuk mengenal satu per satu peserta didik. Masalahnya adalah jika hal tersebut dijadikan landasan untuk memberikan penilaian terhadap kecerdasan siswa, baik dari sisi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Contoh kasus, seorang siswa yang selalu mendapat nilai sembilan (maksimal) pada mata pelajaran tertentu, karena orang tuanya pakar di bidang tersebut. Atau contoh lain, seorang siswa yang ditunjuk secara acak untuk menjadi bendahara organisasi sekolah karena dia anak orang kaya. Contoh lain lagi, siswa yang sudah dikenal kurang pandai, hasil ujiannya tidak diperiksa lagi. Padahal belum tentu, kekurangannya di satu bidang adalah kekurangannya di bidang lain, ini jelas merugikan dan tidak mendidik. Bagaimana jika saya menjadi guru dan meniru cara guru saya dulu menilai siswa-siswanya? Bagaimana jika 25% dari 150 siswa yang saya ajar berpikir seperti saya? Sederhana memang, tapi efek kumulatifnya bisa berdampak buruk bagi kelanjutan pendidikan secara komprehensif.
Mari kita introspeksi diri, adakah kita termasuk guru seperti itu? Kenyataannya sindrom ini banyak menimpa guru-guru Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama. Di saat seorang siswa belajar membangun kepercayaan diri atas kecerdasan intelektualnya, saat yang sama banyak pula guru yang berpikir, ‘ah santai saja, kan masih SD’.
Harusnya guru belajar menilai siswa dari siswa itu sendiri, hasil belajarnya secara berkala, semester ini kurang, semester depan jadi lebih baik, atau sebaliknya. Tidak melulu yang sudah bermerek pintar selalu tetap pintar, dan yang kurang tetap terpinggirkan. Kita semua tahu, setiap yang terlahir pasti dengan keajaibannya masing-masing. Perubahan bisa terjadi kapan saja, oleh siapa saja, dalam hal apa saja.
Cerita kedua, kelemahan siswa dalam ajang kompetisi.
Dulu saya berpikir, hanya guru saya yang tidak berani mengirim kami untuk ikut serta dalam event-event kompetisi (cerdas cermat, kompetisi sains, dll) yang diadakan antar sekolah antar provinsi. Ternyata pikiran saya salah. Pada kenyataannya guru-guru di kota yang lebih besar juga demikian. Banyak siswa-siswa yang akhirnya mengikuti event-event kompetisi dengan diantar (disponsori dan didukung) oleh orang tua mereka, bukan sang guru. Rupanya guru-guru kurang memperhatikan kebutuhan ini. Pikiran nakal saya mengatakan, sebenarnya guru saya takut kami kalah, atau takut ketahuan kelemahan pembelajaran yang diberikannya?. Entahlah, saya juga tidak tahu.
Contoh kasus misalnya, siswa-siswa di kabupaten tidak dikirim ke sebuah event karena akan bersaing dengan siswa-siswa dari banyak kabupaten. “Kita tidak akan menang” begitu kira-kira asumsinya, meskipun tidak pernah diperdengarkan kepada kami, para siswa. Pertanyaan saya, lalu kapan kita menang kalau tidak pernah kalah? Bagaimana kita akan menang atau kalah kalau tidak pernah dicoba? Bukankah kalah menang itu soal biasa? Dan bukankah kalah bertanding itu lebih baik, daripada menjadi penonton untuk sesuatu yang selayaknya kita bertarung di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang harusnya diselami oleh semua guru dan yang akan menjadi guru (karena kita semua adalah guru, minimal untuk diri kita sendiri), kewajiban untuk mendidik, bukan sekedar mengajar.
Suatu ketika seorang rekan yang dinyatakan lulus (bebas tes) di sebuah perguruan tinggi ternama di Pulau Jawa urung untuk berangkat. Kepada saya, beliau menyampaikan keluhannya, yang kurang lebih seperti ini “Saya tidak merasa mampu bersaing di sana, saya khawatir orang tua saya kecewa, karena pengorbanan yang mereka berikan tidak sebanding dengan prestasi yang bisa saya capai.”
Cuplikan di atas hanya satu dari sekian banyak kasus ‘minder’ yang tidak pada tempatnya. Kalau saja kita terbiasa bertemu dan berkompetisi dengan siswa-siswa yang lain, jiwa kita tidak akan dikuasai rasa takut seperti itu. Banyak teman-teman kita yang ternyata setelah terbiasa dengan dunia kompetisi, terlahir sebagai kompetitor sejati. Bercita-cita untuk menang, tetapi tidak pernah takut dengan kekalahan.
Cerita ketiga, tentang generasi Oemar Bakri saat ini.
Seperti apa generasi guru sekarang? Pernahkan teman-teman melihat bagaimana mahasiswa (calon guru) berdemonstrasi? Awalnya memang mereka memiliki niat yang suci. Tapi rasanya untuk saat ini niat itu tak seperti dulu lagi. Bahkan saat ini, kebanyakan persoalan bersama berujung pada demonstrasi yang tidak bersahabat. Tanpa panjang lebar teman-teman juga tahu, demonstrasi yang dimotori mahasiswa cenderung identik dengan kekerasan. Ditirukan oleh siswa-siswa sekolah menengah, sampai sekolah dasar. Anda sudah pernah menyaksikan murid-murid SD berdemonstrasi bukan?. Itu aspek arogansinya. Belum lagi ‘maaf’ jika kita menyoal kualitas intelektualnya. Coba teman-teman amati, siapa yang jadi guru di sekolah-sekolah kita sekarang? Berapa persen saja yang sesungguhnya layak menjadi guru. Selebihnya, mereka hanya ada karena titisan kolusi dan nepotisme, tidak lebih dari itu.
Belajar dari pengalaman masa lalu, sangat diharapkan kepada generasi Oemar Bakri agar bersikap lebih bijaksana, membangun objektivitas terhadap siswa, layaknya kita yang lebih senang dinilai dari hasil kerja kita daripada disebut atas nama orang tua. Belajar untuk optimis dengan peserta didik, mengikutsertakan mereka dalam berbagai ajang kompetisi, melatih mereka bersaing secara positif, sekaligus meng up-grade intelektualitas kita sendiri. Sebab ilmu senantiasa berkembang, menggilas siapa saya yang duduk diam tanpa perubahan.
Ambillah apa saja yang baik dari guru-guru kita, ilmu mereka yang membuat kita bisa berpikir lebih baik dari kebodohan berpikir kita dahulu. Kalaupun kita sempat kehilangan peluang karena ketakutan mereka terhadap kegagalan kita, minimal kita tidak mengulangnya kembali. Tidak menjadikan kehidupan kita terpeluk dalam bayang-bayang masa lalu. Masa lalu pendidikan kita yang sejatinya kita sesali kekurangannya, kita nikmati kelebihannya, dan kita rindukan keindahannya. Satu hal yang pasti, selalu ada jalan untuk kita perbaiki dan terus diperbaiki.
Jogjakarta, 8 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar