Jumat, 27 Maret 2009

Surat Perdamaian


Istirahat pertama, 3 IPA I hening. Hanya beberapa orang saja yang masih bertahan di kelas, yang lain pada ngacir. Masih jelas dalam ingatanku, saat teman-teman dari geng cewek merumuskan ‘surat perdamaian’ itu. Santai aku menghampiri, lalu menawarkan bantuan untuk menyusun kalimat dalam surat itu. Dalam balutan seragam putih abu-abu, kita selesaikan surat itu hanya di istirahat pertama, lalu dikirim ke geng cowok di 3 IPA III waktu itu.

Istiratah kedua, perasaan suntuk menyerangku, lelah tinggal di kelas seharian. Iseng, aku maen ke 3 IPA III. Seorang anggota geng cowok mendekat. “Aku ingin bicara denganmu” lirihnya. Lalu kami berjalan ke taman sebelah kelas, dan dia berkenan menyodorkan selembar kertas. Ku baca tulisan di kertas itu, yang ternyata sebuah surat perdamaian yang kami rumuskan di istirahat pertama tadi.

Selesai aku membaca, dia bertanya “Bagaimana menurutmu?, apakah kami harus memaafkan mereka (geng cewek)?”

“Iya…terima saja maafnya, perempuan memang begitu, sangat emosional, tapi gampang luluh, lagian mereka kan sudah minta maaf, maaf dari kalian akan menunjukkan kebaikan kalian, bukan menjatuhkan harga diri kalian” jelasku yang tidak bisa menyembunyikan rasa geli. Bagaimana tidak, kan aku juga ikut mbantuin geng cewek buat nulis surat itu.

“Yup…baiklah” kulihat dia lega menarik kesimpulan sambil memasukkan kembali surat itu ke saku celananya.

“makasih ya nyonya…”

“sama-sama”

Aku kembali ke kelas, masih geli rasanya aku mengingat kejadian tadi.

Jam pulang sekolah, seperti biasa, anggota geng cewek ngumpul dulu di kelasku (karena dua dari lima anggotanya sekelas denganku).

“Makasih ya…suratnya jitu, kami semua udah baikan” begitu kata salah seorang anggota geng cewek.

“Yup, sama-sama, laen waktu jangan berantem lagi ya…”

“Ok,…”

Akupun berlalu dari hadapan mereka dengan segenap perasaan lega. Entah kenapa aku begitu senang bisa mendamaikan mereka. Apa mungkin karena perdamaian itu memang indah???

Jelasnya aku mengingat kisah itu, hingga saat ini, saat aku menuliskannya kembali dalam salah satu episode di catatan dasawarsa-ku…

Dan hingga hari ini, tak satupun dari mereka saling tahu, kalau aku terlibat secara silang dalam perdamaian itu. Semoga saja mereka tidak tahu dan tidak akan pernah tahu…

Jogjakarta, 23 Februari 2009

Semoga persahabatan kita abadi…Amiin…

Tidak ada komentar: