Jumat, 23 Januari 2009

Surat Cinta Virginia

Belajar memahami sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan kita memang sulit, bahkan sangat sulit. Pernahkah anda berpikir bahwa memahami pria tidaklah sama dengan memahami wanita? Jika anda belum pernah memikirkannya, maka saat ini sepertinya anda perlu mempertimbangkan, ini demi kesuksesan hubungan anda dengan siapapun, tentu yang berbeda gender dengan anda.

Surat cinta ini menceritakan kekecewaan seorang Virginia kepada Jim, suaminya. Suatu ketika Jim akan keluar kota untuk sebuah perjalanan bisnis. Sebagai bentuk perhatian, Virginia berkenan menawarkan Jim beberapa potong mangga untuk menghabiskan petang terakhir hari ini. Namun Jim tetap sibuk dengan buku-bukunya dan hanya menjawab singkat bahwa dia tidak lapar. Virginia merasa ditolak dan kecewa, tetapi ia tidak berani langsung menegur suaminya, sehingga ia pergi dan menulis sepucuk Surat Cinta untuk suaminya.

Begini bunyi surat itu:

“Aku kecewa kau membaca buku, padahal ini malam terakhir kita bersama-sama sebelum kau pergi. Aku marah kau mengabaikan aku. Aku marah karena kau tak ingin menghabiskan saat ini bersamaku. Aku marah karena kita tidak lagi meluangkan waktu bersama-sama. Selalu saja ada sesuatu yang lebih penting daripadaku. Aku ingin merasa kau mencintaiku.

Aku sedih kau tak ingin bersamaku. Aku sedih kau bekerja terlalu keras. Aku merasa kau bahkan tidak tahu apakah aku ada di sini. Aku sedih karena kau selalu begitu sibuk. Aku sedih kau tak ingin bicara denganku. Aku tersinggung karena kau tak peduli. Aku merasa tidak istimewa.

Aku khawatir kau bahkan tidak tahu kenapa aku marah. Aku khawatir kau tak peduli. Aku takut membagi perasaanku denganmu. Aku khawatir kau akan menolakku. Aku takut kita semakin jauh terpisah. Aku takut tak dapat berbuat apapun untuk mengatasinya. Aku khawatir membosankanmu. Aku khawatir kau tidak menyukaiku.

Aku sangat menyesal ingin menghabiskan waktu bersamamu, padahal kau tak peduli. Aku menyesal menjadi sangat marah. Maafkan aku kalau ini kedengarannya terlalu menuntut. Aku menyesal tidak lebih menyayangi dan menerima. Aku menyesal bersikap dingin saat kau tak ingin menghabiskan waktu bersamaku. Aku menyesal tak memberimu peluang lagi. Aku menyesal telah berhenti mempercayai cintamu.

Aku benar-benar mencintaimu. Itu sebabnya aku membawa mangga itu. Aku ingin melakukan sesuatu untuk menyenangkan hatimu. Aku ingin menghabiskan saat istimewa itu bersama-sama. Aku masih ingin menikmati petang yang istimewa. Aku memaafkan ketidakpedulianmu terhadapku. Aku memaafkan sikapmu yang tidak langsung menanggapi. Aku mengerti kau sedang membaca sesuatu. Marilah kita menikmati petang yang indah dan penuh cinta.”

Aku Mencintaimu,

Virginia

Demikianlah surat cinta Virginia, sebuah bentuk kesalahpahaman. Virginia sedang berpikir dengan emosinya sedangkan Jim sedang berlogika. Kalau saja saat itu Virginia langsung marah di depan Jim, tentu Jim akan heran. Apa yang membuatnya marah? Bukankan dia melihatku sedang sibuk? Dan bukankan penolakanku ini wajar?. Kalau saja Virginia juga menggunakan logikanya, mungkin dia akan menerima penolakan Jim, namun sayang, sebagai seorang wanita perasaannya lebih butuh untuk dipenuhi daripada berpikir dengan logika.

Morilnya, belajarlah untuk memahami dengan siapa anda sedang berinteraksi, pertengkaran dan perselisihan bukanlah signal perpisahan, tetapi peringatan bahwa sudah saatnya untuk membuat ritme-ritme baru dalam perjalanan hubungan anda.

Jogjakarta, 23 Januari 2009

By the end of the day, it is all about mindset. Have a great love with your loved one...

Diadaptasi dari buku “Men are from Mars, Women are from Venus” karya John Gray, Ph.D.

Psikologi Penulis

Dunia jurnalistik memang tak pernah kering dari ide-ide cemerlang para penulis. Kali ini saya ingin meninjau sebuah penilaian psikologis tentang penulis, utamanya tulisan-tulisan buah karya seorang penulis perempuan. Mungkin sebagian reader yang pernah mampir ke blog ini heran, mengapa tulisan yang tersaji pada ‘kolong langit’ dan ‘bengkel sastra’ umumnya bertema kesedihan, penyesalan, kekecewaan, dan lain-lain yang tidak menyenangkan. Secara tidak sadar saya berusaha mengamati fenomena ini, sampai suatu ketika saya menemukan jawabannya.

Setiap penulis punya gaya sendiri, ada yang suka menuliskan keindahan adapula yang gemar berbagi cerita kepedihan. Mungkin saya termasuk yang kedua. Anda tahu kenapa? Bagi saya kesedihan atau perasaan duka yang sedang saya alami atau orang-orang di sekitar saya akan lebih mudah disederhanakan dengan menulis. Mengapa? Karena kesedihan ada batasnya, sehingga hanya dengan menuliskannya semua kesedihan itu bisa sirna. Coretan pena mampu meluapkan gelombang kepedihan dan menghempaskan tanpa tersisa. Melapangkan hati, membersihkan emosi jiwa tanpa memilih. Tetapi, kebahagiaan itu tak terbatas, sehingga tak ada kata-kata paling indah pun yang dapat melukiskannya. Sungguh kebahagiaan adalah mata air surgawi yang sejuk, mewarna waktu, merona hari, merindu abadi. Tak terlukis, tak terbatas, tak berakhir.

Mungkin kelihatannya tidak adil. Tapi itulah jiwa penulis. Tak dapat dipaksakan, seseorang akan menjadi penulis model apa, dengan gaya seperti apa. Namun itulah warna yang mereka punya, kisah nyata yang akan mereka tuangkan harus punya napas. Napas sastra berisi pesan yang harus sampai pada pembaca. Bahwa tulisan itu dibangun dengan alur yang hidup, ditulis dari hati, untuk disampaikan pada hati pembacanya.

Jogjakarta, 23 Januari 2009

Tersenyumlah...

Pernahkah ada duka dalam seulas senyum???

Cukuplah pemiliknya yang tahu

Pernahkah ada perih dalam sesungging senyum???

Biarlah pemiliknya yang sadari

Tak perlu risaukan makna senyum itu…

Yang pasti senyum tetap menjadi siluet untuk menyambut siapapun, kapanpun, dan dimanapun

Indah bukan???

Jika aku menatapmu dengan seulas senyum?

Sungguh… seulas senyum mampu mendinginkan amarah apapun bentuknya

Bak panas menyengat diguyur hujan sesaat

Sungguh… sesungging senyum mampu melebur lelah, betapapun penatnya

Seperti diriku yang saat ini tersenyum untukmu

Bahkan senantiasa sepanjang hidupku… aku akan selalu tersenyum untukmu

Untuk persahabatan, persaudaraan dan kasih yang tiada bertepi…

Jogjakarta, 14 Januari 2009

Tentang Sebuah Pesan

Tentang sebuah pesan yang sempat ku simpan, dari seorang teman sepermainan (ups,,benar ga ya??? Yah, anggap saja begitu…)

“Aku melihatmu lebih siap melewati semua ini”, katanya sambil tersenyum

“Bagaimana anda bisa berkata begitu?” tanyaku heran

“Ya, aku memang melihatmu berbeda, kamu sepertinya sudah siap dengan segala kemungkinan yang mungkin” ungkapnya meyakinkan.

“Entahlah” kataku sambil mengangkat bahu

“Ingat pesanku dinda…” katanya sejurus kemudian

“Jangan melakukan apapun yang akan menyakiti hatimu” lanjutnya

Aku tidak melakukan apa-apa, bukankah yang ku lakukan itu wajar? Aku mencoba membela diri.

Dia kemudian menggeleng…

Lalu??? Tanyaku mencari kesimpulan

“Ingat saja pesanku, jangan melakukan sesuatu yang akan menyakiti hatimu. Yang kamu lakukan kemarin menyakitimu kan?”

Aku hanya menarik napas panjang, kemudian kuhempaskan kuat-kuat.

“Tak perlu kau jelaskan, tak perlu kau ingkari, aku sudah mengerti… “ Jawabnya, lagi-lagi sambil tersenyum.

Jogjakarta, paruh kedua Agustus 2008, dipenggal dan ditulis kembali di 7 Desember 2008.

Suatu ketika nanti, kamu pasti butuh menangis Dinda… (Sebuah pernyataan nakal bukan???)

Thanks Uncle…