Dunia jurnalistik memang tak pernah kering dari ide-ide cemerlang para penulis. Kali ini saya ingin meninjau sebuah penilaian psikologis tentang penulis, utamanya tulisan-tulisan buah karya seorang penulis perempuan. Mungkin sebagian reader yang pernah mampir ke blog ini heran, mengapa tulisan yang tersaji pada ‘kolong langit’ dan ‘bengkel sastra’ umumnya bertema kesedihan, penyesalan, kekecewaan, dan lain-lain yang tidak menyenangkan. Secara tidak sadar saya berusaha mengamati fenomena ini, sampai suatu ketika saya menemukan jawabannya.
Setiap penulis punya gaya sendiri, ada yang suka menuliskan keindahan adapula yang gemar berbagi cerita kepedihan. Mungkin saya termasuk yang kedua. Anda tahu kenapa? Bagi saya kesedihan atau perasaan duka yang sedang saya alami atau orang-orang di sekitar saya akan lebih mudah disederhanakan dengan menulis. Mengapa? Karena kesedihan ada batasnya, sehingga hanya dengan menuliskannya semua kesedihan itu bisa sirna. Coretan pena mampu meluapkan gelombang kepedihan dan menghempaskan tanpa tersisa. Melapangkan hati, membersihkan emosi jiwa tanpa memilih. Tetapi, kebahagiaan itu tak terbatas, sehingga tak ada kata-kata paling indah pun yang dapat melukiskannya. Sungguh kebahagiaan adalah mata air surgawi yang sejuk, mewarna waktu, merona hari, merindu abadi. Tak terlukis, tak terbatas, tak berakhir.
Mungkin kelihatannya tidak adil. Tapi itulah jiwa penulis. Tak dapat dipaksakan, seseorang akan menjadi penulis model apa, dengan gaya seperti apa. Namun itulah warna yang mereka punya, kisah nyata yang akan mereka tuangkan harus punya napas. Napas sastra berisi pesan yang harus sampai pada pembaca. Bahwa tulisan itu dibangun dengan alur yang hidup, ditulis dari hati, untuk disampaikan pada hati pembacanya.
Jogjakarta, 23 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar