Kamis, 30 April 2009
Belajar Istiqomah dalam Ikhlas
Belajar istiqomah di atas kepingan hati yang pernah retak, mungkin sulit, bahkan sangat sulit. Sedikit saja digoyahkan, maka hati itu lagi-lagi akan retak, bahkan pecahannya bisa lebih banyak, lebih dalam dari sebelumnya. Terlalu menakutkan untuk dirasa, terlalu sakit untuk dikenang, terlalu pilu untuk dikisahkan. Bahkan sekedar membayangkannya pun, sakitnya tidak karuan.
Percaya, sebuah kata kunci yang ragu untuk ditanam pada hati yang salah, yang tak pernah salah pun bisa ikut-ikutan tersalah. Kira-kira rumus jitu apa yang bisa dipakai ya? Sulit rasanya memikirkan hal-hal yang sangat halus seperti itu. Kenapa? Karena tidak kasat mata. Belajar istiqomah itu berat. Hanya hati yang tahu. Hanya yang tulus yang bisa bertahan. Rasa sakit itu biarlah kalimat Tuhan yang menyembuhkan.
Tak perlu ada yang tahu, seberat apa hati dirundung pilu… cobalah untuk ikhlash…jangan hanya ikhlash disaat posisimu menguntungkan. Ikhlash saat tak ada ranjau. Saat tak ada bahaya. Cobalah tersenyum dengan hati, jangan hanya wajahmu yang tersenyum manis, tapi sejatinya hatimu menangis. Seperti aku santai mendengar namamu, tapi sangat angkuh ketika di hadapanmu. Bahkan aku seperti tak sedikitpun mengenalimu. Aku begitu bangga dengan ketakutanmu, tapi jauh dilubuk hatiku, aku sakit. Pedih melihatmu berlalu tanpa rasa salah, sama sekali.
Aku memang tak pernah menangisi kepergianmu, tapi kenapa aku tak bisa senantiasa ikhlash melepaskanmu? Kadang aku tersenyum puas karena kau telah pergi, tapi kadang aku benci karena kau melepaskanku begitu saja. Meski belakangan aku tahu, kau tak pernah ingin meninggalkanku.
Jogja, 08.
Catatan hatiku – Tuhan sedang mengajariku untuk tegar
Bah… membingungkan saudara. Tulisan di atas saya ‘cuplik’ dari buku harian seorang teman, tapi saya sudah diizinkan menerbitkan itu. Sekedar contoh aja, bahwa hati itu ada digenggaman Allah. Mau memilih yang mana, berjalan ke arah mana, berlabuh di dermaga yang mana, hanya Allah yang tahu. Jadi jangan coba-coba berkata ‘Pasti’ untuk bentuk janji apapun, kepada siapapun, tapi katakanlah ‘Insya Allah’. Sekedar untuk berhati-hati, bukan untuk melonggarkan janji, karena ‘Insya Allah’ juga merupakan bentuk kalimat janji. Mungkin saja disaat-saat terakhir, Allah membalik hati kita, pada sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Semoga saja tidak.
Maka cobalah untuk senantiasa belajar istiqomah. Istiqomah dalam pilihan, istiqomah dalam janji, dan istiqomah dalam ikhlash.
Jogjakarta, 18 April 2009
Special thanks buat temanku, untuk catatan hariannya…
Semoga Allah mengganti ‘dia’ dengan yang lebih baik
Sebuah janji, yang tidak akan pernah mungkin diingkari oleh-Nya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar