Selasa, 19 Mei 2009
Jus Orange
Setiap kehidupan punya caranya sendiri untuk dinikmati. Orang yang tak pernah melihat pantai, akan sangat takjub ketika melihat keindahan pantai. Sebaliknya orang yang terbiasa melihat hamparan pasir putih pantai berikut gugus karang indah yang melingkupinya, akan biasa-biasa saja jika melihat pantai berpasir coklat, gundul tanpa karang ataupun nyiur yang menghiasinya. Semua biasa saja, hambar.
Tapi apa iya, seseorang yang terbiasa melihat pantai karang yang indah plus pasir putihnya itu, tidak punya sedikitpun rasa senang bisa melihat dan menikmati pantai lain selain yang biasa dilihatnya? Jawabnya, tergantung orangnya bukan??? Jika aku diminta menjawab, maka aku akan menggunakan sifat manusia-ku, selagi ada peluang, kenapa tidak? Toh aku bisa menikmatinya, menikmati keindahan lain dari keindahan yang biasa kunikmati.
Hal yang sama dapat saja terjadi ketika kita sedang merasa kehausan yang sangat, seperti sebuah cerita menggelikan berikut. Seorang gadis sedang terduduk lesu karena kehausan, dan merasa tidak sanggup lagi berjalan untuk membeli minuman. Tanpa pikir panjang, ia mengirim sebuah pesan singkat kepada seorang temannya, “Tolong belikan aku segelas jus orange, aku haus sekali, kutunggu di tempat biasa, gpl” pesan itu dikirim, dan tidak perlu menunggu lama balasannya sampai “Tunggu ya”, dan gadis itu-pun menunggu. Sudah menjadi hal yang lazim, ia yakin temannya akan segera datang seperti biasa,, apalagi aku sedang kehausan, pikirnya membatin.
Lama ia menunggu, ternyata sang teman tak jua muncul. Rupanya di jalan ia bertemu dengan temannya yang lain, karena lama tak bertemu, ia pun berhenti untuk sekedar basa basi (yang akhirnya memang jadi basi). Tak lagi ingat waktu, dua orang kawan lama itu makin asyik ngobrol. Tak terasa butiran es di jus orange itu pun meleleh oleh panas yang nakal.. jatuh setitik demi setitik selelah si gadis yang sedang menunggu dengan peluhnya.
Sementara di tempat si gadis menunggu, tiba-tiba seorang temannya yang lain melintas, tidak sengaja memang, hanya kebetulan. Tapi secara kebetulan pula, ternyata temannya itu menawarkan segelas air mineral. Biasa, tidak dingin, dan tidak manis. Tapi cukup untuk menghilangkan haus yang makin mengeringkan tenggorokan. Tanpa pikir panjang, si gadis menerima tawaran itu. Ia segera menyedot pelan-pelan segelas air mineral itu dengan nikmatnya, hingga kesegarannya melebihi kenikmatan yang sesungguhnya.
Dan saya yakin, jika pesanan jus orange-nya tiba setelah itu, nikmatnya takkan sama dengan saat si gadis kehausan untuk pertama kalinya. Apalah artinya segelas jus orange yang segar di panas terik jika tak ada di hadapan kita, bila dibanding dengan segelas air mineral yang biasa-biasa saja, tapi ada.
Betulkan??? Terkadang waktu, keadaan, dan kebutuhan, cukup untuk membuat seseorang berpikir lain dari apa yang awalnya ia pikirkan. Dalam bahasa paling kasar, kita sering mendengar, tidak ada teman dan musuh yang abadi, yang ada hanyalah ‘kepentingan’ yang abadi. Semoga setiap persahabatan yang kita jalin, tak lekang oleh waktu dan kepentingan yang hanya akan menyisakan kekecewaan.
Jogjakarta, 18 Mei 2009
Sepiku – menepi sendiri
Cape nih ngerjain ekstraksi… jadi pengen jus orange…
Selasa, 12 Mei 2009
Kalimat Kepasrahan
Rabbi...
Sungguh agung karunia-Mu melingkupi hidupku
Tak terhitung oleh bilangan bintang
Melebihi luas samudera
Menawarkan semua pedih yang dibuat raga sendiri
Amal tak kan pernah cukup
Belum lagi diriku terlalu lalai
Entah maksiat mana lagi yang tak pernah kubuat
Tasbih dibalut dusta
Ikhlash berlapis keluh
Syukur beralas kufur
Sujud-sujudku hanya di hadapan-Mu
seolah setelah itu Kau tak lagi melihatku
sungguh, begitu hina untuk bersimbol muslim
Di atas keterbatasanku yang paling terbatas
di atas kehinaanku yang paling hina
di atas pengakuanku yang paling dalam
kuucap kalimat kepasrahan
Bismillahi Tawakkaltu Alallah
Wa Laa Hawla Wa Laa Quwwata Illa Billah
Jogjakarta, 12 Mei 2009
Di bawah teduh Gazebo Pertanian...
Sungguh agung karunia-Mu melingkupi hidupku
Tak terhitung oleh bilangan bintang
Melebihi luas samudera
Menawarkan semua pedih yang dibuat raga sendiri
Amal tak kan pernah cukup
Belum lagi diriku terlalu lalai
Entah maksiat mana lagi yang tak pernah kubuat
Tasbih dibalut dusta
Ikhlash berlapis keluh
Syukur beralas kufur
Sujud-sujudku hanya di hadapan-Mu
seolah setelah itu Kau tak lagi melihatku
sungguh, begitu hina untuk bersimbol muslim
Di atas keterbatasanku yang paling terbatas
di atas kehinaanku yang paling hina
di atas pengakuanku yang paling dalam
kuucap kalimat kepasrahan
Bismillahi Tawakkaltu Alallah
Wa Laa Hawla Wa Laa Quwwata Illa Billah
Jogjakarta, 12 Mei 2009
Di bawah teduh Gazebo Pertanian...
Langganan:
Postingan (Atom)