Minggu, 21 Juni 2009

Budaya Menggenggam...


Suatu ketika saya membaca sebuah pesan singkat, isinya kurang lebih seperti ini: “Tahu tidak kenapa Tuhan menciptakan ruang antara jari-jarimu? Karena suatu saat seseorang yang dikirim oleh-Nya untukmu, akan memenuhi ruang itu dengan menggenggam erat tanganmu, selamanya…”
Pesan tersebut justru membuat saya mengingat-ingat kembali, sepertinya saya tahu, kenapa Tuhan menciptakan ruang di antara jari-jari? Tapi jawabannya ‘sedikit’ berbeda…
Dalam tinjauan evolusi, pergerakan jari-jemari adalah pertanda kebudayaan. Salah satu faktor yang diperhatikan dalam penelitian tentang radiasi primates dan perjalanan evolusi hominid adalah kemampuan manusia dalam menggerakkan jari-jarinya. Keleluasaan ibu jari menyentuh jari-jari yang lain dan ukuran ibu jari yang hampir separuh dari tinggi jari telunjuk.
Keleluasaan tentu memerlukan ruang. Ruang mampu membuat ibu jari menyentuh jari yang lain, sentuhan inilah yang menghasilkan kebudayaan. Manusia mampu menggenggam. Kemampuan menggenggam ini menjadikan manusia mampu memercikkan api untuk pertama kali, membuat kapak perimbas, alat-alat serpih, beliung persegi, sampai pada kebudayaan yang lebih halus, seperti membuat perhiasan ataupun tari-tarian.
Mungkin itu juga yang dimaksud oleh pengirim pesan singkat tadi, karena diakui atau tidak, kemampuan menggenggam itulah yang melahirkan kebudayaan, termasuk budaya menggenggam itu sendiri…
Pertanyaannya adalah masih adakah kebudayaan yang akan terbentuk jika tangan-tangan itu akan digenggam erat ‘selamanya’??!

Jogjakarta, 21 Juni 2009
Saat tanganku masih bebas berbudaya…

Berikanlah Aku Hidup


Manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Tidak ada satu kebutuhan pun yang hanya bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri. Bahkan sejak ia belum lahir, apalagi saat akan diantar ke peristirahatan terakhir. Saat belum lahir, dia harus menumpang di rahim bunda-nya, setelah terlahir dia butuh orang lain untuk menopang fungsi hidupnya, dan ketika ia meninggal, harus di antar ke pemakaman. Hal ini tentu berlaku pada semua manusia, tanpa memandang status sosial mereka.
Sampai di sini belum selesai. Ketergantungan manusia tidak berhenti pada sesama manusia saja, tetapi juga pada makhluk Tuhan yang lain di sekelilingnya. Ketergantungan manusia yang paling besar justru ada pada makhluk hidup yang seringkali tidak dianggap hidup. Tahukah anda makhluk itu apa? Mungkin anda (dan juga saya) seringkali terlupa dengan makhluk hidup yang namanya tanaman/tumbuhan/pohon. Kita seringkali lupa kalau mereka juga hidup, bernapas, makan, dan mati seperti manusia. Yang dalam sistem ekologi, disebut sebagai produsen.
Seorang ilmuwan mengatakan, bahwa sepanjang hidup setiap manusia dari lahir sampai mati, akan ditopang oleh 5 pohon untuk memenuhi kebutuhan oksigennya. Jika disebut pohon, anda jangan membayangkan padi, tomat, soka, mawar, atau krisan. Tapi bayangkanlah tentang mangga, nangka, ketapang, asam, atau kelapa. Ini baru kebutuhan oksigen, belum yang lainnya. Pakaian yang kita pakai, rumah yang kita tempati, dan makanan yang kita makan tiap hari, bukankah sebagian bahan bakunya adalah pohon dan tanaman?
Sekarang, karena kita sama-sama dilahirkan sebagai manusia, mari kita berhitung. Berapa umur kita sekarang? Berapa banyak oksigen yang sudah kita hirup? Lalu bandingkan dengan berapa jumlah pohon atau tanaman (jika keberatan menanam pohon) yang sudah kita tanam, diusia kita yang kesekian? Apakah sebanding? Mungkin ada yang mengatakan ‘lebih’, ‘sama’, atau bahkan ‘kurang’. Anda memilih berada diposisi mana, apakah ingin melestarikan bumi yang kian renta ini (dengan menanam lebih), sekedar membebaskan diri dari utang oksigen (dengan menanan 5 pohon), atau kita masih ingin menjadi egois dengan tidak pernah menanam sebatang pohon pun? Semuanya terpulang kepada pribadi masing-masing. Paling tidak, saat ini kita tahu bahwa kehidupan di bumi sangat tergantung pada ketersediaan oksigen dari pohon-pohon itu. Apalah artinya jantung yang sehat, jika harus memompa darah tanpa oksigen?! Nihil…
Semoga kita tidak menjadi manusia yang hanya bisa menerima dan menggunakan, tanpa mau memberi atau menanam… Jangan sampai kita menanti sampai pohon-pohon itu berteriak “Berikanlah aku hidup…” Yah, jika kita yang hidup sekarang tidak bersedia menanam 5 pohon saja, maka kelak anak cucu kita yang akan meneriakkan suara pohon-pohon itu…

Jogjakarta, 21 Juni 2009
Kado ultah-ku dari Population Genetics